Langkah awal setelah naiknya Letnan Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia adalah melakukan stabilisasi penyeragaman. Upaya yang dilakukan dalam proses penstabilan ini adalah penghapusan beberapa kegiatan partai politik dan organisasi masyarakat tahapan ini dilakukan dengan cara penyeragaman pemikiran melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan.
Gagasan sosialisasi pemahaman Pancasila disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetya Pancakarsa bagi ikrar tersebut. Gagasan yang disampaikan oleh Presiden Soeharto ini memulai dibentuknya sebuah penyusunan pedoman yang akan dikenal sebagai P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetya Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita, yaitu:
- Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;
- Mencintai sesama manusia dengan selalu ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang;
- Mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi;
- Demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah;
- Suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain.
Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR. Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/ MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.
Tujuan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik.
Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “Suku”, “Agama”, “Ras”, dan “Antargolongan” (SARA). Menurut pemerintah Orde Baru, “SARA” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan SARA. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah SARA.
Meskipun demikian, akhirnya konflik yang bermuatan SARA itu tetap tidak dapat dihindari. Menurut Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, ternyata pada tahun 1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan nonmuslim di Jakarta. Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4 ditinjau kembali.
Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya ORSOSPOL (Organisasi Sosial Politik) yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “Asas Tunggal”. Gagasan Asas Tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru, Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.
Penutup Stabilisasi Penyeragaman
Gagasan asas tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama. Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka.
Sejak saat itu tidak ada lagi Organisasi Sosial dan Politik yang berasaskan selain Pancasila, semua sudah seragam. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “Bhinneka Tunggal Ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.