Strategi komunikasi yang dilakukan guru dalam mendidik dan meningkatkan prestasi belajar siswa, yaitu menggunakan teknik ganjaran. Sebagaimana pengertian teknik ganjaran (pay off technique), yaitu kegiatan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara mengiming-imingi hal yang menguntungkan atau menjanjikan harapan. Teknik ini sering dipertentangkan oleh teknik “pembangkitan rasa takut” (fear arousing), yaitu suatu cara yang bersifat menakut-nakuti atau menggambarkan konsekuensi yang buruk. Jadi, kalau pay-off tecnique menjanjikan ganjaran (rewarding), fear arousing tecnique menunjukan hukuman (punishment). Akan tetapi dalam penggunaannya guru salah mengartikannya.
Dalam teknik ganjaran ini seharusnya siswa yang berprestasi diberi ganjaran berupa hadiah, dan sebagainya. Sehingga siswa pun menjadi termotivasi untuk meningkatkan prestasinya agar bertambah lebih baik. Dalam kenyataannya ternyata guru tidak melakukan yang demikian. Guru hanya memahami kalau ganjaran itu berupa hukuman, dan itu diberikan kepada siswa yang bersalah. Guru tidak memahami kalau ganjaran itu seharusnya diberikan juga untuk siswa yang memiliki prestasi. Hal ini dimaksudkan supaya siswa terus berusaha meningkatkan prestasinya. Dengan demikian guru tidak merasa lelah lagi dalam berpikir dan berbuat menghadapi siswanya.
Jika teknik dapat berjalan dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah guru hanya diharapkan mampu menanamkan rasa kesadaran kepada siswa sehingga dia merasa percaya diri dan terjauh dari rasa kecil hati. Siswa juga akan terhindar dari kekerasan yang dapat memicu tindak kekerasan pula kepada siswa yang lain. Siswa yang diajarkan dengan penghargaan maka kelak siswa itu akan menjadi mengerti dan tahu menghargai orang lain. Namun sebaliknya apabila siswa dididik dengan hinaan dan hukuman, maka kelak dia juga akan merasa hina dan tidak pandai menghargai orang lain.
Gambaran tentang strategi komunikasi yang dilakukan guru terhadap siswanya pada dasarnya karena disebabkan kesibukan guru mengurusi dengan banyak siswa sehingga tidak terkondisikan siswa yang melakukan kesalahan dan yang tidak melakukan kesalahan. Namun ketika anak melakukan kesalahan, guru, yaitu kepala sekolah baru mulai menunjukkan sikap perhatiannya berupa tindakan menghukum siswa
Dalam masyarakat kita penerapan pendidikan antara pujian (reward) dengan hukuman (punishment), tidaklah sebanding. Pendidikan di lingkungan kita sering lebih mengedepankan hukuman. Jika anak berbuat salah, dihukum, dimarahi, dipukul, dan sebagainya. Akan tetapi, jika anak melakukan suatu prestasi, terkadang guru tidak memberikan pujian, sehingga.siswa akan mengetahui bagaimana jika bersalah dan bagaimana jika berprestasi. (Amin, 2007: 172)
Keharmonisan antara guru dan orang tua terlebih dahulu diwujudkan. Dengan adanya keharmonisan antara guru dan orang tua maka anak akan merasakan ketenangan. Bagaimana mungkin anak akan bisa menjadi yang baik sedang guru saja belum baik mengatur mekanisme pembelajaran. Oleh karena itu maka langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah menciptakan keharmonisan di dalam sekolah dahulu agar siswa tidak merasa jenuh ketika kegiatan ngajar mengajar berlangsung.
Setelah keharmonisan di dalam sekolah terwujud, maka langkah selanjutnya yang dilakukan guru adalah memikirkan bagaimana mengupayakan mendidik anak agar sholeh dan sholehah. Seiring dengan upaya guru mewujudkan rumah sekolah yang harmonis secara tidak langsung anak juga terdidik untuk juga turut membantunya, yaitu berupaya untuk menjadi anak yang sholeh dan sholeha yang berprestasi. Maka hal ini tentunya amat membantu guru dalam menciptakan rumah sekolah yang nyaman, damai, tentram dan memiliki segudang prestasi