Keberhasilan Jepang menguasai beberapa wilayah Indonesia, merupakan akibat dari propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Jepang terhadap bangsa Indonesia, tujuannya adalah menarik simpati rakyat supaya dapat membantu dan mendukung Jepang yang sedang menghadapi perang dengan Amerika Serikat (Blok Sekutu) dalam Perang Pasifik sebagai bagian dari Perang Dunia 2.
Gambar kedatangan pasukan jepang di pulau Borneo
Banyak masyarakat yang menderita saat wilayahnya dikuasai oleh Jepang. Hal ini dikarenakan, mereka dipaksa untuk membuat parit, membuat jalan, membuat lapangan terbang, dan masih banyak lagi, mereka dipaksa oleh Jepang menjadi Romusha. Kalian tahu nggak apa itu romusha? Pada artikel praktek pengerahan dan penindasan oleh Jepang kemarin sudah dibahas. Namun bagi kalian yang belum tahu, akan saya bagikan penjelasan singkatnya. Romusha artinya adalah buruh atau pekerja, sebuah sebutan bagi orang-orang yang dipekerjakan secara paksa oleh Jepang pada saat Jepang menduduki Indonesia. Agar pemahaman kalian lebih tajam dan mendalam mengenai sepak terjang Pendudukan Jepang, dan agar kalian paham juga bagaimana respon bangsa Indonesia menghadapi kekejaman Jepang.
Pertempuran Bangsa Indonesia Melawan Pendudukan Jepang
Penderitaan rakyat tidak berkurang tetapi justru semakin bertambah. Kehidupan rakyat benar-benar menyedihkan. Bahan makanan sulit didapatkan karena banyak petani yang menjadi pekerja romusha. Gelandangan di kota-kota besar makin tumbuh subur Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan. Penderitaan rakyat Indonesia semakin tidak tertahankan. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian muncul berbagai perlawanan terhadap pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Perlawanan-perlawanan tersebut yaitu sebagai berikut:
Perlawanan Rakyat Aceh
Abdul Jalil adalah seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot Plieng, Provinsi Aceh. Karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap romusha, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan. Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang. Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para santri di sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, Jepang berusaha membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10 ovember 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng.
Gambar K.H Abdul Jalil tokoh perlawan Rakyat Aceh Masa Pendudukan Jepang
Pertempuran kemudian berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942, saat rakyat sedang menjalankan ibadah salat subuh. Karena diserang, maka rakyat pun dengan sekuat tenaga melawan. Rakyat dengan bersenjatakan pedang dan kelewang, bertahan bahkan dapat memukul mundur tentara Jepang. Serangan tentara Jepang diulang untuk yang kedua kalinya, tetapi dapat digagalkan oleh rakyat. Kekuatan Jepang semakin ditingkatkan. Kemudian, Jepang melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya dan berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh. Dalam keadaan terdesak, Abdul Jalil dan beberapa pengikutnya berhasil meloloskan diri ke Buloh Blang Ara. Beberapa hari kemudian, saat Abdul Jalil dan pengikutnya sedang menjalankan salat, mereka ditembaki oleh tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai pahlawan bangsa.
Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150 orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya. Perjuangan rakyat Aceh terhadap Jepang semakin meluas sehingga muncul perlawanan di Jangka Buyadi bawah pimpinan perwira Gyugun Abdul Hamid. Dalam situasi perang yang meluas ke berbagai tempat, Jepang mencari cara yang efektif untuk menghentikan perlawanan Abdul Hamid. Jepang menangkap dan menyandera semua anggota keluarga Abdul Hamid. Dengan berat hati akhirnya Abdul Hamid mengakhiri perlawanannya. Berikutnya perlawanan rakyat berkobar di Pandrah Kabupaten Bireuen. Perlawanan disebabkan oleh masalah penyetoran padi dan pengerahan tenaga romusha. Kerja paksa yang diadakan Jepang terlalu memakan waktu panjang sehingga para petani hampir tidak memiliki kesempatan untuk menggarap sawah. Disamping itu, Jepang menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang itu sangat merugikan rakyat. Fakta yang memberatkan lagi, Jepang juga memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil panennya sebanyak 50%-80%.
Pertempuran Rakyat Singaparna
Kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, ajaran yang banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Tasikmalaya, Jawa Barat. Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang. Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin menderita.
Para romusha dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan yang sangat menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi di mana-mana. Kemudian secara khusus rakyat Singaparna di bawah Kiai Zainal Mustafa menentang keras untuk melakukan seikeirei.
Gambar tokoh perlawanan Rakyat Singaparna terhadap penindasan Jepang
Perlawanan meletus pada bulan Februari, 1944,dipimpin oleh seorang Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan (tokoh ulama) di Sukamanah, Singaparna. Ia adalah pendiri Pesantren Sukamanah. Ia sangat menentang kebijakan-kebijakan Jepang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Zainal Mustafa secara diam-diam telah membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh ajengan Najminudin. Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran pada salah satu hari Jumat di bulan Februari 1944.
Mendengar akan adanya rencana penyerangan, Jepang mengirim rombongan utusan Jepang ke Sukamanah untuk mengadakan perundingan dengan Zainal Mustafa. Akan tetapi, utusan Jepang itu bersikap congkak dan sombong untuk menunjukkan bahwa Jepang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat. Hal ini menyulut kemarahan pengikut Zainal Mustafa, sehingga utusan Jepang itu pun dilucuti senjatanya dan ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang berhasil melarikan diri.
Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai dan 60 orang polisi negara istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Pertempuran terjadi lebih kurang satu jam di kampung Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan mempergunakan pedang dan bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir. Zainal Mustafa dengan pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi gempuran dari pihak Jepang. Karena jumlah pasukan yang lebih besar dan peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan Zainal Mustafa. Dalam pertempuran ini banyak berguguran para pejuang Indonesia. Kiai Zainal Mustafa ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal.
Perlawanan di Indramayu
Perlawanan terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu. Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Singaparna. Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang. Tentu kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Begitu juga kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusha juga terjadi di Indramayu, sehingga semakin membuat rakyat menderita.
Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener. Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian. Rakyat protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat. Namun, sekali lagi rakyat tidak mampu melawan kekuatan Jepang yang didukung dengan tentara dan peralatan yang lengkap. Rakyat telah menjadi korban dalam membela bumi tanah airnya.
Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat. Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena himpitan penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya.
Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Mereka hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan alam rimba belantara, sungai, rawa, dan daerah yang sulit ditempuh perlawanan berkobar dengan sengitnya. Namun, harus dipahami bahwa di kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih menyedihkan lagi, para mata-mata itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan, dan pembunuhan, baik terhadap orang-orang yang dicurigai atau bahkan terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang sering membuat perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah. Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan juga
Rakyat Irian Melawan
Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat di Irian. Mereka mendapat pukulan dan penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan. Oleh karena itu, wajar jika kemudian mereka melancarkan perlawanan terhadap Jepang. Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Biak merupakan pusat pergolakan untuk melawan pendudukan Jepang. Rakyat Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat. Mereka juga tidak memiliki rasa takut. Padahal kalau ada rakyat yang tertangkap, Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan umum. Namun, rakyat Irian tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka melakukan taktik perang gerilya.
Tampaknya, Jepang cukup kewalahan menghadapi keberanian dan taktik gerilya orang-orang Irian. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia. Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah seorang pemimpin perlawanan di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat lama bahkan sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yapen Selatan mendapatkan bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yapen Selatan untuk mengalahkan Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.
Perlawanan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA)
Dalam pemikiran Jepang adalah memenangkan perang dan upaya mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan. Rakyat menjadi semakin menderita. Penderitaan demi penderitaan ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco PETA. Tumbuhlah semangat dan kesadaran nasional, sehingga timbul rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Sebagai komandan PETA, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang. Hal semacam ini juga dirasakan Supriyadi dan kawan-kawannya di lingkungan PETA. Mereka kerap menyaksikan sikap congkak dan sombong dari para syidokan yang melatih mereka Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota PETA di Blitar untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang.
Rencana perlawanan itu tampaknya sudah bulat tinggal menunggu waktu yang tepat. Dalam perlawanan PETA tersebut, direncanakan akan melibatkan rakyat dan beberapa kesatuan lain. Apa pun yang terjadi, Supriyadi dengan teman-temannya sudah bertekad bulat untuk melancarkan serangan terhadap pihak Jepang.
Gambar Pasukan Daidan (Batalion) PETA yang berjuang melawan Jepang
Pada tanggal 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari Daidan (Markas Batalion), lalu keluar dengan bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang Jepang. Pasukan Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Mereka segera menghalau para anggota PETA yang mencoba melakukan perlawanan. Pimpinan tentara Jepang kemudian menyerukan kepada segenap anggota PETA yang melakukan serangan, agar segera kembali ke induk kesatuan masing-masing.
Gambar Supriyadi Shodancho/Komandan Pleton (Letnan) PETA di Blitar
Untuk menghadapi perlawanan PETA di bawah pimpinan Supriyadi, Jepang mengerahkan semua pasukannya dan mulai memblokir serta mengepung pertahanan pasukan PETA tersebut. Namun, pasukan Supriyadi tetap bertahan. Mengingat semangat, tekad, dan keuletan pasukan Supriyadi dan Muradi tersebut, maka Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan PETA dengan lemah lembut, penuh kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah memuncak panas itu bisa membalik menjadi dingin kembali.
Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda PETA yang melancarkan serangan bersedia kembali ke Daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa segala sesuatu akan dianggap soal interen Daidan, dan akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Mereka akan diterima kembali dan tidak akan dibawa ke depan pengadilan militer. Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke daidan. Di sini sudah berderet barisan para perwira di bawah pimpinan Daidanco Surahmad. Sejenak kemudian Shodanco Muradi maju, lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa pasukannya telah kembali. Mereka juga menyatakan menyesal atas perbuatan melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya dan ditawan, diangkut ke Markas Kempetai (Polisi Militer Jepang) Blitar. Ternyata Muradi yang sudah menyerah tetap diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Kekuatan PETA di bawah Supriyadi semakin lemah. Tidak terlalu lama akhirnya perlawanan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriyadi ini dapat dipadamkan. Tokoh-tokoh dan anggota PETA yang ditangkap kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Setelah melalui beberapa kali persidangan, mereka kemudian dijatuhi hukuman sesuai dengan peranan masing-masing dalam perlawanan itu. Ada yang mendapat pidana mati, ada yang seumur hidup, dan sebagainya. Mereka yang dipidana mati antara lain, dr. Ismail, Muradi yang sudah disebutkan di atas, Suparyono, Halir Mangkudijoyo, Sunanto, dan Sudarno. Sementara itu, Supriyadi tidak jelas beritanya dan tidak disebut-sebut dalam pengadilan tersebut.