Pada tahun 1357, Prabu Hayam Wuruk, raja termahsyur sepanjang sejarah Majapahit telah berusia 23 tahun dan telah memasuki usia ideal untuk memiliki pasangan hidup. Apalagi Prabu Hayam Wuruk sangat tampan, berbudi luhur, serta telah mencapai tingkatan yang begitu tinggi dalam usianya yang masih begitu muda. Namun hingga kini, belum ada satu-pun gadis yang menarik hati Sang Prabu, baik dari golongan bangsawan maupun golongan pribumi. Padahal, pelukis kerajaan sudah bepergian ke berbagai daerah di nusantara untuk mencari sosok wanita yang kiranya memenuhi kriteria untuk menjadi permaisuri Sang Prabu. Ibunda Sang Prabu, Tribhuwanatunggadewi memutuskan untuk bersikap tegas pada keadaan yang sedang terjadi.
Suatu pagi di pendopo istana Majapahit…
Karena di pinggir lapangan terdapat banyak pohon rimbun, Maharaja memutuskan untuk beristirahat di tempat itu.
Namun tanpa diduga, rombongan Sunda Galuh dihadang oleh pasukan pimpinan Gajah Mada.
Namun dengan alasan yang tak jelas di sebuah sudut medan peperangan, Dyah Pitaloka tersenyum dengan mata yang terbuka lebar. Seakan-akan terhibur oleh pertumpahan darah dan gelimpangan mayat yang terbentang di depan mata.
Dyah Pitaloka: Takdir seperti menuntunku ke jalan yang sangat aku impikan. Biarkanlah aku mati! Biarkan aku menyusul kepergian Kakang Saniscara! Oh betapa malangnya dikau Sri Baginda Hayam Wuruk. Sebentar lagi kau akan meratap dan menyesal karena telah membuat hidupku menjadi penuh dengan penderitaan!
Setelah mengucap kalimat emosional tersebut, Sekar Kedaton segera membunuh dirinya sendiri dengan cara menusukkan sebilah keris tepat di jantungnya. Rasa nyeri yang teramat sangat sama sekali tidak ia rasakan. Bagi dirinya, rasa sakit itu seperti ia nikmati karena nyeri yang tertahankan tersebut adalah pembuka jalan bagi pertemuannya dengan Saniscara di alam kematian.
Dyah Pitaloka tak perlu menunggu lama untuk merasakan datangnya ajal menjemput. Meskipun merasakan kematian yang pedih, senyum tetap terpancar dari wajahnya. Raut mukanya yang begitu cantik tak henti-hentinya menebarkan pesona meski sosoknya kini telah tak bernyawa.
Atas kesalahan besar yang dibuatnya, Mahapatih Gajah Mada dicopot dari jabatannya dan menyingkir ke daerah selatan Ywangga. Sedangkan Prabu Hayam Wuruk tidak perlu lama-lama bersedih hati. Karena meskipun gagal memperistri Sekar Kedaton Sunda Galuh, Dyah Pitaloka Citraresmi, tak lama waktu berselang Hayam Wuruk menikah dengan sepupunya sendiri, Sri Sudewi.