Sejak tahun 2006, arah kebijakan pendidikan di Indonesia mengalami perubahan. Perubahan itu terutama pada otonomi sekolah sebagai pengembang kurikulum. Produk dari kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan disingkat KTSP.
Dalam ranah pembelajaran KTSP dimaknai sebagai otonomi guru dalam kegiatan pembelajaran. Guru diberi kewenangan membuat garis-garis besar pengajarannya dalam bentuk silabi dan dijabarkan sendiri dalam bentuk RPP. Silabi dan RPP mendasarkan diri pada Standar Kelulusan (SKL) dan Standar Isi Mata Pelajaran (Sejarah) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional produk Badan Standar Nasional Pendidikan atau BSNP.
Sesungguhnya filosofi KTSP sebagai kelanjutan dari kurikulum inovasi sebelumnya, Kurikulum 2004 merupakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berbeda dengan kurikulum sebelumnya (1994) yang lebih menekankan content, maka kurikulum baru ini lebih menekankan pada sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa dalam jenjang pendidikan tertentu (Sardiman, 2004).
Proses pembelajaran di sekolah juga mengalami pembaharuan dengan istilah Contextual Teaching Lerning (CTL). Dalam pendekatan pembelajaran baru ini materi pembelajaran sejarah menjadi berubah. Pembelajaran sejarah sebaiknya dimulai dari fakta-fakta sejarah yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak, baru kemudian pada fakta-fakta yang jauh dengan tempat tinggal anak. Lingkungan tempat tinggal dapat berupa desa, kota kecil, lingkungan pantai, pegunungan, lingkungan industri, barak militer, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal itu maka pengkajian sejarah lokal menjadi penting. Makalah ini berusaha membahas tentang sejarah lokal dari aspek konseptual dan metodenya.
Batasan Konseptual tentang Sejarah Lokal
Sejarah lokal memiliki arti khusus, yaitu sejarah dengan lingkup spasial di bawah sejarah nasional, misalnya sejarah Indonesia. Berdasarkan hierarkhi ini, maka sejarah lokal barulah ada setelah adanya kesadaran adanya sejarah nasional. (Taufik Abdullah,2004:3). Meskipun adanya hierarki demikian bukan berarti semua sejarah lokal harus memiliki keterkaitan dengan sejarah nasional.
Sejarah lokal bisa mencakup peristiwa-peristiwa yang memiliki kaitan dengan sejaran nasional dan peristiwa-peristiwa khas lokal yang tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang lebih luas, seperti nasional, regional, atau internasional. Pendek kata, sejarah lokal berkaitan dengan aspek geografis di bawah lingkup nasional, seperti propinsi, kabupaten, kota, desa, dan seterusnya.
Secara umum batas “lokal” dalam penelitian sejarah lokal ditentukan oleh sejarawan sendiri. Selain batasan di atas, lokal bisa berarti wialayah geografis yang terlepas dari ketentuan adminsitratif modern, misalnya, “pantai Utara Jawa” atau “wilayah sepanjang lembah Bengawan Solo”. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah, pengkajian sejarah etnis tidak bisa dikategorikan sebagai “sejarah lokal”. “Sejarah Minangkabau” sebagai wilayah masih mungkin, artinya sejarah Sumatera Barat, tetapi dalam pengertian etnis, namanya bukan lagi sejarah lokal.
Dalam pengertian etnis “sejarah Minangkabau” dapat menyebabkan kita harus mengkaji sejarah sepanjang pantai Barat Sumatera, mulai Aceh, Sibolga, sampai ke Bengkulu, Jambi, dan menyeberang ke Selat Malaka, dan Negeri Sembilan. Pendek kata daerah-daerah yang didiami oleh etnis Minangkabau.
Lingkup Temporal (Waktu) dan Spasial (Tempat)
Lingkup Temporal
Lingkup waktu dalam sejarah lokal bisa mencakup masa sebelum mengenal tulisan (preliteracy history) yang selama ini lebih dikenal dengan nama masa prasejarah hingga masa sekarang. Lingkup temporal ini dapat dipilah lagi menjadi beberapa babakan atau periodisasi sejarah.
Periodisasi sejarah lokal tidak harus mengikuti periodisasi sejarah nasional. Hal ini penting diperhatikan karena tidak semua peristiwa lokal memiliki kaitan dengan peristiwa-peristiwa yang lebih luas, termasuk peristiwa pada tingkat nasional. Sebagai contoh dalam dalam Sejarah Nasional dikenal zaman Perkembangan Islam antara abad ke 7 hingga abad ke 13. Pembabakan ini tidak menggambarkan semua realitas sejarah pada tingkat lokal di Indonesia. Di beberapa daerah tertentu pada abad tersebut agama Islam belum masuk, penduduk sebagian besar masih menganut kepercayaan lokal dan sebagian lagi beragama Buddha dan Hindu.
Demikian pula dalam sejarah nasional dikenal periode Tanam Paksa (1830-1870). Pembabakan ini tidak tepat untuk membuat periode sejarah lokal di daerah tertentu, karena ada sejumlah daerah yang pada waktu itu tidak mengenal Tanam Paksa seperti wilayah Yogyakarta dan Surakarta serta sebagian besar wilayah luar Jawa. Babakan sejarah kontemporer yang memasukkan periode 1945-1950 sebagai periode perjuangan kemerdekaan Indonesia juga tidak tepat untuk diterapkan di semua sejarah lokal di Indonesia.
Pada periode tersebut penduduk di Lembah Baliem, Papua tidak mengenal perang kemerdekaan, bahkan masih hidup pada zaman preliteracy (prasejarah (sic)). Dengan demikian penentuan periodiasi penulisan sejarah lokal harus memperhatikan dinamika sejarah lokal masing-masing daerah dan tidak terpaku pada periodisasi sejarah nasional.
Lingkup Spasial
Lingkup spasial dalam sejarah lokal adalah wilayah lokal, bukan nasional atau regional. Batasan lokal memang membuka peluang perdebatan, sebab ada peristiwa-peristiwa lokal yang memilik kaitan dengan peristiwa nasional dan ada peristiwa sejarah lokal yang memang khas lokal. Dalam hal ini lingkup sejarah lokal hanya mengacu pada batasan wilayah administratif atau geografis. Taufik Abdullah (1985) membatasi konsep lokal adalah wilayah administratif tingkat propinsi atau yang sejajar dan wilayah administratif di bawahnya.
Dengan demikian lingkup spasial sejarah lokal dapat mencakup wilayah desa, kecamatan, kawedanan, kabupaten, hingga propinsi. Lokalitas juga dilihat dari aspek geografis seperti pasisir, pedalaman, dan pegunungan. Selain itu juga dapat dilihat dari ciri khas budaya dan sosial ekonominya seperti masyarakat volk (masyarakat sederhana), desa, kota kecil, kota besar, dan kota besar.
Pembelajaran Sejarah Lokal
Membongkar Kurikulum Nasional Sejarah
Berpuluh-puluh tahun kurikulum sekolah dibuat oleh pemerintah, c.q. Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum itu diujudkan dalam bentuk Garis-garis Besar Program Pengajaran adatu disingkat GBPP. GBPP harus ditaati secara ketat oleh guru dengan diturunkannnya dalam Satuan Pelajaran atau disingkat SP.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma. Kurikulum yang tersentralisasi diubah menjadi terdesentralisasi dengan nama Krikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau disingkat KTSP. Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan hanyalah membuat Standarnya saja. Khusus yang terkait dengan kepentingan guru adalah Standar Kelulusan serta Standar Isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar).
Dalam paradigma baru ini guru sejarah diberi wewenang yang lebih luas untuk mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum dimulai dengan membongkar SK dan KD yang kemudian dijabarkan dalam sejumlah indikator yang relevan dengan konteks tempat guru mengajar. Memang SK KD tidak dapat diubah, tetapi urutannya dapat dipindah-pindah. Sementara itu indikator dalam SK KD sangat tergantung dari kemampuan guru sejarah dalam menjabarkannnya. Termasuk di dalamnya untuk memilih materi ajar sejarah yang akan digunakan, guru diberi kebebasan asal standar minimal dipenuhi.
Semangat kurikulum yang demikian belum banyak disadari oleh para guru, termasuk guru sejarah. Banyak guru yang tidak menyusun silabi, tetapi hanya mengcopy model silabi yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum (Puskur). Dampaknya masih ada kesan sentralisasi kurikulum. Untuk itu para guru sejarah hendaknya membuat silabi sendiri, kalau tidak kelompok guru mata pelajaran yang tergabung dalam MGMP Sejarah membuat silabinya sendiri. Dengan cara itu, cirikhas kurikulum sebuah KTSP akan terlihat. Jika perlu MPGMP dapat mengundang tim pengembang kurikulum sebagai nara sumber, apakah dari LPTK atau dari LPTK yang relevan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan guru dalam menentukan tingaketan kemampuan anak dalam penerimaan materi ksejaraha. Anak SD, SMP, dan SMA harus dibedakan berdasarkan tingkat berpikirnya. Menurut Kochhar (2008:75), ada tiga tingkatan, yaitu: (1) anak-anak pada tingkatan sekolah dasar ditekankan pada meteri pembelajaran tentang tokoh, (2) anak-anak pada sekolah menengah pertama ditekankan pada materi pembelajaran tentang peristiwa sejarah, dan (3) anak-anak pada tingkatan SLTP ditekankan pada materi pembelajaran yang menakankan ”gagasan” atau pemikiran. Standar Isi IPS Sejarah 2006 memberi ruang gerak kepada guru untuk mengembangkan materi ajar sesuai dengan tingkat berpikir siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya.
Disajikan dari Sejarah Umum ke Sejarah Khusus
Dalam sejarah kita kenal bahwa tidak ada satu bangsa, suku bangsa, atau kelompok sosial tertentu yang tak memiliki jaringan dengan dunia luar. Perkembangan masyarakat, politik, dan kebudayaan yang opernah terjadi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur luar sejak masa pra sejarah hingga masa kini.
Pengembangan materi ajar sejarah dapat dioleh dengan cara deduktif dengan cara menerangkan persoalan-persoalan umum yang terjadi pada tingkat dunia (internasional), kawasan (regional), nasional (negara), hingga pada level lokal (propinsi, kabupaten, kecamatan, desa). Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini:
- Ketika guru menerangkan perkembangan agama Islam di Nusantara, guru dapat menurunkan materi ajar sejarah itu pada level lokalitas yang lebih sempit, yaitu Pulau Jawa, pantai Utara Jawa, Semarang, Kendal, Wonosobo, Surakarta, dan sebagainya.
- Ketika guru menerangkan Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang melahirkan nasionalisme, guru dapat mengaitkan konsep revolusi, nasionalisme itu dengan yang terjadi di Indonesia, Jawa Tengah, Semarang, Surakarta, Purworejo, dan sebagainya.
- Ketika guru menerangkan tentang perkembangan demokrasi di dunia Barat, guru dapat mengaitkan konsep demokrasi dan implementasinya yang berkembang di Indonesia.
Disajikan dari Peristiwa Lokal ke Peristiwa Nasional dan Global
Pengajaran sejarah juga dapat diawali dari fakta-fakta sejarah lokal pada periode tertentu. Fakta-fakta itu kemudian dihubungkan dengan peristiwa yang lebih luas seperti nasional, regional, dan dunia. Di bawah ini diajukan sejumlah contoh model ini.
- Ketika guru sedang menerangkan peninggalan sejarah “Lawang Sewu”, yang berarti menerangkan perkembangan transportasi Tram di Kota Semarang pada awal abad XX, maka guru dapat mengkaitkannya dengan jaringan tram, dengan jaringan kereta api di Jawa. Jaringan Kereta api di Jawa dikaitkan dengan kepentingan Kolonial dalam perdagangan internasional. Kepentingan perdagangan internasional dikaitkan dengan imperialisme Baru, dan seterusnya sesuai dengan jangkauan kemampuan siswa.
- Ketika guru menerangkan sejarah Kendal pada masa Bahurekso, maka guru dapat mengkaitkannya dengan perkembangan agama Islam, jaringan dagang internasional, dan Politik Integrasi Mataram Islam.
- Ketika guru sedang menerangkan Sejarah Perjuangan Raden Mas Said di wilayah Wonogiri, guru dapat mengaitkannnya dengan suksesi di Kesunana Surakarta, Proses masuknya VOC di Surakarta, hingga Penjajahan Belanda di Nusantara.
Simpulan dan Saran
Sekarang ini guru telah dinyatakan sebagai sebuah profesi oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Guru dan Dosen. Implikasi dari sebuah profesi, maka kemampuan yang dimiliki harus dapat dipertanggungjawabkan di kalangan penggunanya.
Guru sejarah merupakan profesional yang pekerjaan utamanya adalah melakukan pembelajaran dalam bidang sejarah. Sebagai pembelajar, guru sejarah harus terus mengikuti wacana yang berkembang dalam dunia keprofesonalannya. Pertama, dia harus selalu menyegarkan pengetahuan kesejarahan. Dalam pengertian mengikuti perkembangan temuan-temuan kesejarahan. Kalau perlu juga menjadi bagian penemu fakta sejarah.
Kedua, guru harus mengembangkan inovasi-inovasi pembelajarannya supaya siswa sebagai konsumen senang dalam mempelajari sejarah dan dapat mengambil manfaat dari belajar sejarah. Inovasi dapat dilakukan mulai dari perancangan kurikulum, pengembangan bahan ajar, proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, dan akhirnya mengadakan penilaian terhadap bahan-bahan yang diajarkan.
Sejarah lokal merupan bahan penting untuk dikembangkan sebagai bahan pembelajaran. Guru sejarah dapat memanfaatkan hasil penelitian sejarawan tentang sejarah lokal (Kendal) untuk kepentingan pembelajaran. Selain itu juga dapat mengajak anak untuk menggali sendiri secara sederhana dengan pendekatan inkuiri.