Setiap orang memiliki daya kreativitas yang dapat dikembangkan. Banyak penelitian mengenai pengembangan kreativitas siswa, salah satu di antaranya yang dilakukan oleh Yates dan Emma (2017). Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang jelas dalam kepercayaan siswa dalam kreativitas mereka sendiri dan kepercayaan diri mereka untuk mengimplementasikan kegiatan yang dialami dalam sesi menggunakan sebuah modul dalam praktik mereka sendiri.
Pengembangan kreativitas dilakukan dengan banyak cara. Richardson dan Punya (2018) mengembangkan sebuah lingkungan belajar yang mendukung kreativitas siswa. Pendekatan secara kontekstual juga pernah digunakan untuk mengembangkan kreativitas guru musik pada kondisi pembelajaran modern (Sydykova, Laura, Bolat, Aizhan, & Ulbolsyn, 2018). Adapun penelitian lain yang dilakukan Kaycheng (2017) mengungkapkan bahwa kreativitas siswa dapat ditingkatkan melalui pemodelan sosial, penguatan, dan ekologi ruang kelas.
Pentingnya pengembangan kreativitas harus menjadi perhatian bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Mengembangkan kreativitas di sekolah harus mendapatkan perhatian sebagai usaha pengambangan keterampilan sejak dini. Sekolah harus memiliki fleksibilitas agar peserta didik mampu beradaptasi dan berkembang di dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman (Ardhyantama, 2019).
Fleksibilitas ini salah satunya adalah kemampuan untuk beradaptasi mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan pada saat itu dan masa mendatang. Pengembangan kreativitas di dalam kelas sudah banyak pula diteliti di Indonesia. Konsep niteni, nirokke dan nambahi menjadi salah satu pilihan dalam mengembangkan kreativitas siswa. Budiati, Istiqomah, Purnami, dan Agustito (2018) menerapkan konsep ini untuk menganjarkan matematika lengkap bersama keterampilannya kepada peserta didik secara utuh.
Meski demikian, Budiati, dkk. tidak menyebutkan keterampilan apa saja yang teramati muncul dengan penerapan konsep Tri-N dalam pembelajaran matematika di dalam kelas. Kurikulum 2013 menekankan pada pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Kreativitas adalah satu dari keterampilan tersebut. Tri-N sejauh ini telah digunakan untuk mengembangkan salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu keterampilan berpikir kritis (Wijayanto, 2019).
Melalui tiga tahapan Tri-N siswa dilatih untuk menumbuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pendidikan sebagai salah satu pilar dalam pembentukan sumber daya manusia memiliki peran yang krusial. Pembelajaran di bangku sekolah harus mampu mengakomodasi berbagai tuntutan zaman, bukan lagi hanya terpaku pada penguasaan konsep dan hapalan.
Pengembangan keterampilan dan perilaku menjadi aspek lain yang perlu mendapatkan perhatian dibangku sekolah karena keberhasilan pendidikan tidak cukup dinilai dari kemampuan kognitifnya saja. Setidaknya enam aspek lulusan harus ada dalam kemampuan peserta didik, yaitu: sikap suka belajar, mengetahui cara belajar, memiliki rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, memiliki etos kerja yang baik, serta kreatif dan produktif (Pidarta, 2015).
Kreativitas berkaitan dengan inovasi, penemuan, dan kebaruan yang mengandung makna menambahkan sesuatu yang baru (Torrance,1976). Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dalam proses ini. Untuk sampai pada creation atau penciptaan sesuatu yang baru, seseorang harus terlebih dahulu memperhatikan dengan seksama berbagai hal dan kemungkinan yang tersedia di sekitarnya, kemudian mampu menirukan dan yang terakhir adalah sanggup menambahkan sesuatu lain yang menjadi pembeda. Pembeda ini merupakan kebaruan yang diyakini lebih membawa banyak manfaat setelah dilakukan berbagai telaah.
Ardhyantama (2018) menyebutkan bahwa kreativitas merupakan sebuah kemampuan dengan ciri yang menambahkan, mengubah, atau bahkan membentuk suatu gagasan baru dari yang sudah ada sebelumnya ataupun yang sama sekali belum pernah diciptakan manusia. Tahapan-tahapan ini sesungguhnya sudah lama digagas oleh bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara dengan idenya yaitu: niteni (mencermati), nirokke (menirukan), dan nambahi (menambahkan).
Gagasan Ki Hajar Dewantara mengandung nilai dasar yang menghormati kemampuan kodrati anak untuk mengatasi permasalahan dengan kebebasan berpikir (Suparlan, 2015). Gagasan ini patut untuk dikaji demi memenuhi tujuan pengembangan kreativitas manusia Indonesia. Di samping itu, hal ini sangat sesuai dengan tahap pengembangan kreativitas sekaligus memiliki nilai originalitas unsur keindonesiaan yang sangat kental sebab dicetuskan oleh tokoh pendiri bangsa Indonesia secara langsung. Cheng (2019) menemukan bahwa kreativitas dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan dapat ditingkatkan dengan melakukan pembelajaran menggunakan kurikulum dengan tema sehari-hari yang sederhana.
Penggunaan langkah Tri-N dalam mengembangkan kreativitas memiliki nilai tambah karena merupakan sebuah gagasan yang dibawa oleh tokoh pendidikan Indonesia. Yong, Mannucci, dan Lander (2020), dalam penelitian yang dilakukannya pada lintas negara, menemukan bahwa budaya dapat digunakan untuk menumbuhkan kreativitas. Gagasan yang berasal dari anak bangsa, tentu sarat akan nilainilai budaya yang selama ini membesarkannya.
Dengan menggunakan langkah Tri-N, peningkatkan kreativitas dapat sejalan dengan nilai dan budaya yang sudah melekat pada bangsa. Gagasan yang sudah sejalan dengan kebudayaan masyarakat sekitar akan lebih mudah diterima dan dijalankan. Melihat potensi besar untuk menggunakan gagasan Tri-N dalam menggembangkan kreativitas, sangat disayangkan masih sedikit sekali penelitian yang mengkaji tentang hal ini.
Kurangnya minat peneliti dan praktisi mengangkat gagasan ini dapat disebabkan karena kurang populernya gagasan ini sendiri di tengah masyarakat, serta kurangnya informasi mengenai manfaat gagasan niteni, nirokne dan nambahi dalam mengembangkan kreativitas. Publikasi mengenai pengembangan kreativitas dengan menggunakan gagasan Tri-N menjadi penting untuk mengedukasi masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui apakah benar gagasan ini dapat digunakan untuk mengembangkan kreativitas dan bagaimana cara menggunakannya.
Secara Singkat Gagasan Tri-N Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara merupakan seorang tokoh nasional dengan ide-ide yang sangat berpengaruh baik dalam bidang jurnalistik, politik, budaya, dan pendidikan. Sebagai Bapak Pendidikan Indonesia yang telah mempelopori berdirinya taman siswa pada tanggal 3 Juli 1992, Ki Hajar Dewantara memiliki empat strategi yang diterapkan dalam dunia pendidikan. Strategi tersebut adalah 1) bahwa pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri; 2) membentuk watak siswa agar berjiwa nasional tetapi tetap membuka diri terhadap perkembangan internasional; 3) membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir pelopor, dan 4) mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat yang menjadi kodrat alamnya masingmasing siswa (Wiryopranoto, Herlina, Marihandono, Tangkilisan, & Tim Museum Kebangkitan Nasional, 2017).
Dalam pedoman operasional-praktis Ki Hajar Dewantara, ada 7 macam tri (tiga), yaitu: tri pantangan, trihayu, trisakti jiwa, tringa, triko, trijuang, Tri-N. Tri-N adalah sebuah gagasan yang bila dibunyikan secara lengkap adalah, niteni, nirokke, nambahi (Wiryopranoto, Herlina, Marihandono, Tangkilisan, & Tim Museum Kebangkitan Nasional, 2017). Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia niteni berarti mencermati, nirokke berarti menirukan, dan nambahi memiliki arti menambahkan.
Gagasan ini banyak digunakan di dunia pendidikan dan dikenal sebagai pedoman belajar yang sangat bagus dari pemikiran seorang Indonesia asli. Gagasan Ki Hajar Dewantara banyak bersinggungan dengan budaya jawa. Konsep niteni, nirokke dan nambahi tersirat makna bahwa dalam proses tersebut ada model yang dijadikan acuan dan pedoman. Keteladanan dilakukan dengan memberikan contoh. Mashari dan Qomariana (2016) menyampaikan gagasannya bahwa keteladanan harusnya diberikan dari lapisan atas ke lapisan bawah atau masyarakat. Menjadi teladan berarti menjadi panutan yang menjadi asal mula dari tiga tahapan dalam gagasan Ki Hajar Dewantara tersebut.
Konsep gagasan Tri-N adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sibyan (2019) mengungkapkan bahwa proses ini terjadi secara berjenjang dan berurutan (sistematis) serta tidak terjadi secara terpisah dan acak. Dengan demikian, Niteni, nirokke, dan nambahi adalah sebuah prosedur yang tiap tahap awalnya menjadi pijakan untuk masuk pada tahapan berikutnya. Gagasan Tri-N juga digunakan dalam pengembangan buku ajar.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Damayanti (2019) ditemukan bahwa konsep ini dapat ditelusuri dan diimplemantasikan dalam buku teks bahasa Indonesia SMP. Damayanti mengidentifikasi kegiatan mengamati dengan memadukan berbagai indera, di antaranya indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan peraba. Tahap mengamati diartikan sebagai fase menggali informasi lebih dalam dari hasil pengamatan dan penalaran dengan menghubungkan pengetahuan awal. Nirokke mereplikasi apa yang sudah diajarkan dengan melibatkan, kognisi, rasa, hati nurani dan spiritual dengan integral dan hormon. Nambahi merupakan inovasi yang dilakukan terhadap sesuatu yang sudah diajarkan dengan mengembangkan kreativitas.
Konsep Tri-N pernah digunakan untuk mengembangkan kemampuan menulis puisi. Pengembangan kemampuan tersebut dilakukan dengan tahapan: 1) niteni: dengan kegiatan berupa memperhatikan, mengamati, mencermati, mengenali, mengingat, menyimak, membaca, mendengarkan, meraba, dan merasakan dengan menggunakan panca inderanya; 2) nirokke: dengan kegiatan berupa menirukan, mencontoh, mengimplementasikan, melakukan sesuatu, dan berlatih dengan caranya sendiri; dan (3) nambahi yaitu mengembangkan, memodifikasi, membuat, menambahi, mengurangi, memperbaiki, mengembangkan kemampuan, dan memperluas pemahaman (Amalia, Mashluhah, & Fernandez, 2017).