Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Portugis menjadi ancaman bagi kerajaan Aceh. Begitu pula sebaliknya, eksistensi Aceh yang didukung dengan kekuatan armada perangnya yang besar merupakan ancaman menakutkan bagi orang-orang Portugis di Malaka. Oleh karena itu, di antara dua kekuatan yang berdekatan ini, kontak senjata sering kali tidak terelakkan.
Penguasa Aceh ketika itu adalah Sultan Iskandar Muda. Sejak awal kekuasaan Portugis di Malaka ia tidak pernah menunjukkan upaya negosiasi dengan Portugis dan memilih jalur konfrontasi bagi pihak mana pun yang berani menjalin kerja sama dengan bangsa penjajah ini. Hal ini dibuktikan manakala Kerajaanjohor melakukan ikatan dengan Portugis. Kerajaan Johor pun berhasil dihancurkan meski dibantu oleh Portugis.
Sultan Iskandar Muda menerapkan aturan yang wajib ditaati bagi bangsa-bangsa lain yang akan melakukan perdagangan di wilayah kekuasaan Aceh. Salah satunya adalah pelarangan hubungan apa pun dengan Portugis. Ia pun memperingatkan dengan armada perangnya apabila ada yang berani mengusik kedaulatan wilayahnya maka akan diserang tanpa ampun.
Untuk mengusir Portugis dari Malaka dan mengembalikan keamanan negerinya, Sultan Iskandar Muda melancarkan serangan terhadap Portugis pada tahun 1615. Serangan ini mengalami kegagalan, namun memberikan peringatan yang tak terlupakan. Pada tahun 1629, Aceh kembali melakukan serangan secara besarbesaran. Pasukan Portugis terkepung oleh kapal-kapal perang Aceh. Ketika Portugis hampir menyerah, mereka mendapat bantuan dari Johor, Pahang, Patani, dan Goa. Atas kekuatan yang tak berimbang ini, serangan Sultan Iskandar Muda dapat digagalkan.