Revitalisasi pengembangan profesionalisme guru dan pembinaan ketenagakerjaan di bidang pendidikan memerlukan nilai transformasi kultural. Profesionalisme guru adalah persoalan kultural yang tidak bisa diselesaikan melalui implementasi program-program pragmatis, populis, dan sarat muatan politis. Kebijakan program sertifikasi berbasis portofolio tidak memberikan kecukupan informasi diagnostik dan holistik sosok utuh kompetensi seorang guru. Perlu diwaspadai banyak program pengembangan profesionalisme sekedar bermetamorfosis namun selalu mendorong kebiasaan lama melalui program tambal sulam yang justru merusak integritas dan kredibilitas identitas profesionalisme itu sendiri. Misalnya pemerintah tidak mempersiapkan mekanisme untuk memonitor dan menjaga agar guru yang sudah lulus termotivasi mengembangkan kemampuan belajar mandiri.
Pengembangan profesionalisme guru selama ini tidak merujuk informasi diagnostik bersumber dari konteks pembelajaran riil yang bisa menjadi dasar integratif bagi strategi pengembangan motivasi belajar berkelanjutan. Profesional belajarnya terjadi dalam konteks dan memanfaatkan pengalaman. Artinya guru sebagai seorang profesional memiliki cara pandang, konteks lingkungan bekerja,dan pengalaman yang harus dilihat secara holistik.
Secara epistimologis cara pandang perancang program yang obyektifistik terindikasi munculnya terminologi pengembangan dalam istilah “diklat PLPG”, “PPG”, “pengembangan staf”, “pelatihan guru” dan terminologi yang lebih developmentalis “life long education”. LTPK yang seharusnya menjadi agen pembaharuan justeru mengikuti arus pendekatan proyek karena faktor finansial yang menjanjikan. Sudah saatnya paradigma “pengembangan” digeser kedalam konsep “belajar” dan dari pandangan “atomistik” digeser kedalam pandangan “holistik”.
1. Konsep “pengembangan” ke konsep “belajar”
Konsep belajar dalam bekerja lebih cocok dalam pengembangan profesionalisme guru dan bisa diadopsi LPTK sebagai embbeded program bagaimana mahasiswa calon guru selama 4 tahun program berjalan sudah dihadapkan dalam praktek pembelajaran secara nyata (bukan sekedar PPL). Ini membawa konsekwensi dari proses pembelajaran yang menekankan pengembangan profesionalisme bersifat pasif menjadi belajar aktif.
2. Perspektif “atomistik” ke ‘holistik”
Program peningkatan profesionalisme guru seringkali terpisah dari faktorfaktor yang mempengaruhi belajar seorang guru atau maksimal mempertimbangkan kombinasi dari faktor yang terkait saja. Belajar sangat tergantung pada interaksi antara konteks, guru, antara sesama guru, dan sumber-sumber belajar lain. Vygostky seorang kontruktivistik sosial menyatakan komunikasi dalam proses belajar dan kerjasama antara instruktur siswa, atau antara pebelajar merupakan strategi pembelajaran yang efektif (Luis C. Moll, 1990: 79-80).
Para guru tidak hanya belajar know-what, know-why, know-how namun juga know-who siapa yang memiliki pengalaman empiris sebagai tacit knowledge. Guru sebagai seorang profesional harus dipandang sebagai individu yang memiliki “tacit knowledge” sebagai pengetahuan empiris yang sangat berharga.
Era ekonomi pengetahuan sangat menghargai adanya tacit knowledge bahkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran bisa menjadi sumber informasi berharga (Reigeluth, 2009). Diperlukan konsen pengembangan profesionalisme berkelanjutan yang berangkat dari perspektif mempertimbangkan latar sosio-kultur guru dalam konteks keseharian guru menjalankan profesi disertai adanya kehadiran supervisi (Ann Webster, 209: 714).
Konsep klinik pembelajaran yang dicetuskan SB Wahyono bisa menjadi model pengembangan profesionalisme guru yang lebih transformatif, harus dipastikan berjalan pro-aktif yang menghargai tacit knowledge dan pengalaman para guru dan tidak lepas konteks (theoritical driven), namun (participants empirical driven). Pandangan dan kebijakan rasional ekonomis dalam peningkatan profesionalisme guru sebagai sumber daya utama nampak terlalu deterministik dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Sifat kontrol struktural yang dominan lebih baik digantikan dengan peningkatan standarisasi dan spesifikasi keluaran daripada kontrol yang terpusat.
Linda Darling Hammond (1997:67) mengatakan solusi birokratis terhadap masalah-masalah praktek profesionalisme akan selalu gagal karena praktek secara inheren tidak tentu dan tidak bisa diprediksi. Barnet, (2000); Usher and Edwards, (1994) bahkan menawarkan untuk menilai ketrampilan profesional lebih kepada kualitatif dan bersifat empati. LPTK sebagai salah satu institusi profesional pencetak guru harus membebaskan diri dari pandangan rasionalis ekonomi karena akan mempengaruhi upaya peningkatan profesionalisme.
Pergeseran paradigma professional development (PD) menjadi professional learning (PL) dan akhirnya mencapai continuous authentic professional learning (CAPL) yang lebih meletakkan kesadaran dan letak tanggungjawab pengembangan profesionalisme diri ada pada diri guru. Program profesionalisme perlu dikembangkan untuk menciptakan konteks yang merangsang guru merencanakan belajar mandiri.
Konsep andragogy nampak sekedar digunakan untuk pengembangan profesionalisme mengajar (professional teaching) perlu dikaji dan lebih menekankan heutagogy (self determined learning) yang dikemukakan Stewart Hase yang menekankan belajar bagaimana belajar, proses yang tidak linear, double loop, dan benar-benar diarahkan oleh dirinya sendiri.
Andragogi masih berfokus kepada cara terbaik bagaimana orang atau seorang profesional belajar, hutagogi lebih mendorong aktualisasi ketrampilan belajarnya secara mandiri, baik dalam konteks formal maupun non formal. Artinya istilah pengembangan profesionalisme lebih ditekankan kepada profesional yang belajar sehingga bukan semata tanggungjawab pemerintah namun porsi terbesar adalah pada diri sang guru.
Konsep pengembangan pada diri seorang guru perlu ditransformasi menjadi berkelanjutan (continuous professional learning) dan diletakkan dalam konsep belajar dalam bekerja (workplace learning). Hal ini sejalan dengan suatu model pengembangan model belajar mandiri yang dikemukakan Haris Mudjiman yang yang bersifat siklikal dalam menimbulkan motivasi berkelanjutan (2010: 47-54).
Inilah letak tugas pemerintah dengan lembaga penyelenggara peningkatan mutu guru untuk menjamin bahwa guru mau mempertahankan motivasinya untuk terus belajar. Bekal ketrampilan untuk belajar berkelanjutan inilah yang penting dilatihkan kepada para calon guru dan para guru. Profesionalisme harus dilihat terbentuk dari pengalaman holistik (kombinasi dari berbagai faktor terkait) bukan sekedar dalam dimensi-dimensi kompetensi yang sering dilihat secara diametrikal.
Nampak seringkali ada dikotomi antara berbagai kompetensi, padahal satu sama lain saling mengisi dan mempengaruhi. Terkadang di dalamnya terkadang tacit knowledge yang tidak bisa didekati melalui sistem instrumentasi yang kurang bisa menggambarkan konteks secara holistik. Ada kekhawatiran adanya kontrol secara struktural dengan instrumentasi kaku dalam sistem pengembangan profesionalisme guru (pendekatan struktural) bisa menyebabkan diskontinyu terhadap keberhasilan peningkatan mutu guru mencapai self determined learning.
Jean Clandinnin dan Michael Connely (1995) menyatakan bahwa pengetahuan praktis seorang guru atau dosen itu melibatkan personal, etik, intelektual dan dimensi sosial. Perlu difahami juga bahwa seorang profesional konsep belajarnya adalah;
- seorang profesional belajar dari pengalaman terjadi secara siklikal yang oleh Barbara Rogoff (1995) disebut microgenetic development moment by moment (experiential learning cycle),
- belajar dari tindakan reflektif; disebut sebagai pusatnya praktek keprofesionalan karena melalui aktifitas reflektif transformasi pengalaman menjadi aktifitas belajar,
- belajar dimediasi oleh konteks; belajar selalu terjadi dalam konteks bukan sekedar fisik namun juga interaksi sosial dan konteks ini yang menurut Boud dan Walker (1998; 196) dianggap satu yang paling berpengaruh penting atas refleksi dan belajar.