Definisi Mau’idhoh Hasanah Sebagai Metode Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Ditinjau dari segi etimologis (bahasa) nya, kata Dakwah mencakup segala kegiatan (aktivitas) amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu segala aktifitas yang dilakukan seseorang dengan tujuan mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Makna ini tidak menunjukkan makna Dakwah secara luas.
Adapun amar ma’ruf nahi munkar adalah upaya internal untuk mengikuti Islam oleh kaum Muslim sendiri. Hal itu bertujuan agar umat Islam tetap dapat menempuh jalan Agama Islam dan tidak menyimpang dari jalan yang lurus.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar adalah sebagai penjaga Syariat dan pelindung Undang-undang. Sedangkan tugas para juru dakwah hidup di pos “pencidukan”. Sasaran mereka adalah orang-orang non Muslim yang sedang bingung tersesat dan gelisah.
2. Pengertian Mau’idhoh Hasanah
Secara bahasa Mauidhoh hasanah terdiri dari dua kata yaitu mauidhoh dan hasanah. Kata mauidhoh berasal dari kata wa’adza ya’idzu wa’dzan ‘idzatan berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain ;
a. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip H. Hasanuddin adalah sebagai berikut :
والموعظة الحسنة وهي التى لا يخفى عليهم انك تناصحهم بها وتقصد ماينفعهم فيها او بالقران
“Al-mau’idhoh hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada merekan atau dengan Al-Qur’an”.
b. Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’idhoh al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.
Mau’idhoh hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan didunia dan akhirat.
Ibnu Katsir menafsiri Al-mauidzah hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah. Ibnu Katsir menulis sebagai berikut:
والموعظة الحسنة أي بما فيه من الزواجر والوقائع بالناس ذكرهم بها ليحذروا بأس الله تعالى
At-Thobari mengartikan mauidzah hasanah dengan “Al-ibr al-jamilah” yaitu perumpamaan yang indah bersal dari kitab Allah sebagai hujjah, argumentasi dalam proses penyampaian. Pengajaran yang baik mengandung nilai-nilai kebermanfaatan bagi kehidupan para siswa. Mauidzah hasanah sebagai prinsip dasar melekat pada setiap da’i (guru, ustadz, mubaligh) sehingga penyampaian kepada para siswa lebih berkesan. Siswa tidak merasa digurui walaupun sebenarnya sedang terjadi penstranferan nilai.
Al-Imam Jalaludin Asy-Syuyuti dan Jalaludin Mahali mengidentikan kata “Al-Mauidah” itu dengan kalimat مواعظه أو القول الرقيق artinya perkataan yang lembut. Pengajaran yang baik berarti disampaikan melalui perkataan yang lembut diikuti dengan perilaku hasanah sehingga kalimat tersebut bermakna lemah lembut baik lagi baik.
Rosulullah SAW., bersabda :
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال : “كان النبي صلى الله عليه وسلم, يتخولنا بالموعظة في الايام كراهة السامة علينا” روه البخاري
Hadits tersebut bermakna bahwa “Dari Ibnu Mas’ud R.A., berkata : ”bahwa Nabi SAW., ketika memberikan mau’idhoh (nasihat) selalu variatif supaya tidak membosankan kita”.” (HR. Bukhori).
Dari hadits diatas dapat dimengerti bahwa Nabi Muhammad SAW., selalu memberikan mau’dhoh kepada umatnya tanpa adanya rasa bosan baik dari Rosulullah SAW., maupun dari umat-Nya yang menerima mau’idhoh tersebut. Jika diumpakan mau’idhoh (nasihat atau pengajaran) yang Beliau berikan bagaikan obat bagi orang yang sakit, dan dapat menyenangkan hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
Pengaplikasian Mau’idhoh Hasanah Dalam Kegiatan Dakwah
Islam merupakan agama universal yang mengatur segala sisi kehidupan manusia. Kehidupan berbangsa, bertetangga, kehidupan pribadi, tindak pidana dan perdata dan hukum yang lainnya. Tak terkecuali dalam berdakwah. Allah telah mengajari umatnya dalam metode dakwah. Dia menunjukkan metode dakwah sesuai dengan kedudukan manusia. Allah berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ…..
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An Nahl: 125)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tiga metode dakwah yang selayaknya ditempuh oleh setiap da’i.
- Hikmah
- Maui’dhoh Hasanah
- Jidal billati hiya ahsan
Namun yang lebih ditekankan dalam hal ini adalah metode Mau’idhoh Hasanah. Dari beberapa definisi di atas, mau’idhoh hasanah tersebut bisa diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yakni :
- Nasihat atau petuah
- Bimbingan, pengajaran (pendidikan)
- Kisah-kisah
- Kabar gembira dan peringatan
- Wasiat (pesan-pesan positif)
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Mau’idhoh hasanah akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan dari pada larangan dan ancaman.
Dalam pembahasan ini akan lebih menekankan mau’idhoh hasanah dalam arti bimbingan, pengajaran (pendidikan).
1. Mau’idhoh Hasanah dalam Bentuk Bimbingan dan Pengajaran
Metode pembelajaran dan mengajar dalam Islam tidak terlepas dari sumber pokok ajaran yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai tuntunan dan pedoman bagi umat telah memberikan garis-garis besar mengenai pendidikan terutama tentang metode pembelajaran dan metode mengajar. Di bawah ini dikemukakan beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan metode pembelajaran dan mengajar dalam presfektif Al-Qur’an terutama dalam Surat Al-Maidah ayat 67 dan Surat An-Nahl ayat 125.
Surat Al-Maidah ayat 67
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (67)
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”
Tersirat dalam Surat Al-Maidah ini mengandung makna bahwa menyampaikan risalah itu merupakan perintah Tuhan. Allah memerintahkan Nabi untuk menyampaikan risalah kenabian kepada umatnya jika tidak maka Nabi termasuk orang yang tidak menyampaikan amanat. Peringatan Allah kepada Nabi mengakibatkan Beliau sangat ketakutan sehingga dada nabi terasa sesak, saking beratnya tugas ini.
Kata-kata “baligh” dalam bahasa Arab itu merupakan pernyataan yang sangat jelas apalagi bentuknya fi’il “amr”. Dalam tafsir Al-Jalalin lafadz “baligh” terselip kandungan جميع (seluruhnya). Berarti nabi harus menyampaikan secara keseluruhan yang telah diterima dari Allah SWT. Tidak boleh ada yang disembunyikan sedikitpun dari Nabi (ولا تكتم شيئا منه ). Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa makna “baligh” dalam surat Al-Maidah merupakan fiil amr yang terkandung makna untuk menyampaikan seluruh yang diterima dari Allah SWT.
Dengan melalui prinsip maud’idhoh hasanah dapat memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu.
Ada banyak pertimbangan (multi approach) agar penyampaian materi bisa diterima oleh peserta didik diantaranya:
- Pendekatan Relegius, yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk relegius dengan bakat-bakat keagamaan. Metode pendidikan Islam harus merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
- Dasar Biologis, pertumbuhan jasmani memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan.
- Dasar Psikologis, metode pendidikan Islam bisa effektif dan efesien bila didasarkan pada perkembangan psikis meliputi motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal intelektual.
- Dasar Sosiologis, pendekatan social interaksi antar objek, subjek dengan objek sehingga memberikan dampak positif bagi keduanya.
- Terdapat beberapa pelajaran penting yang harus di ketahui oleh semua orang yang beriman, mengenai keteladanan Rasulullah SAW., dalam menggunakan metodelogi pengajaran di antaranya:
- Metode Graduasi (Al-Tadarruj) : metode ini merupakan metode Al-Qur’an dalam membina masyarakat. Demikian pula dalam menanamkan aqidah, dakwah dan pengajaran ini di sampaikan secara bertahap dan memerlukan tahap matang dan di sesuaikan dengan kemampuan daya tangkap masyarakat atau tingkatan pengertian mereka. Namun tampaknya metode ini dalam pendidikan Nabi SAW. Bukan karena secara graduasi melainkan juga merupakan kebijaksanaan Nabi SAW. Sendiri dalam pendidikan, hal ini di harapkan oleh peserta didik mengerti dan segera di laksanakan.
- Materi dakwah dan pengajaran pokok yang di sampaikan adalah mengenai keimanan, setelah itu Rasulullah SAW. Menuntun mengucapkan kalimat syahadat.
- Setelah masyarakat beriman barulah rasulullah memberikan konsekuensi syahadat bahwa syahadat itu mewajibkan sholat lima waktu sehari semalam, kesadaran menunaikan ibadah menjadi bukti kebenaran mereka kepada Allah SWT.
- Tahap berikutnya pemberitahuan kewajiban menbayar zakat hartanya, di mana hal itu merupakan kesadaran bentuk rasa tanggung jawab sosialdan itu menjadi bukti kebenaran islam.
- Hadist tersebut mengandung pengertian bahwa para guru tidak boleh memaksa anak didiknya dan menyesuaikan dengan kemampuan pola piker mereka.
Pendidikan adalah usaha untuk membentuk kepribadian dengan metode yang benar. Rasulullah SAW., telah bersungguh-sungguh mendidik sahabat dan generasi muslim, hingga mereka memiliki kesempurnaan Akhlak.
Sebagai seorang guru muballigh di dalam mnegajar atau berdakwa harus menyesuaikan dengan kemampuan daya tangkap masyarakat yang di hadapinya dengan menggunakan bahasa, istilah yang di mengerti, janganlah sekali-kali memaksakan apa yang mereka tidak mampu dan mengikuti contoh yang di berikan oleh nabi.
Penerapan hadits nabi saw. Di atas dalam penyampaian dakwah zaman sekarang
Kata kunci yang dapat diambil dari hadits Nabi SAW. di atas adalah terletak pada kata يتخولنا yang berarti “variatif atau variasi”. Variasi disini berarti bahwa Nabi SAW., dalam dakwah-Nya menggunakan metode ataupun sarana dakwah dengan cara yang bervariasi begitu pula pesan-pesan yang Beliau sampaikan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kebosanan dari objek dakwah Beliau.
Di zaman sekarang pun banyak da’i yang menggunakan berbagai macam cara dan metode dakwah yang bermacam dan berbeda satu sama lain. Namun, pada hakekatnya metode dan sarana untuk berdakwah sangat banyak dan luas atau bahkan mungkin tidak akan ada batasnya. Sebab semua yang bisa dikerjakan oleh manusia dan apa yang ada di muka bumi ini selagi tidak berbenturan dengan doktrin Islam, maka hal itu boleh dijadikan sebagai metode dan sarana untuk berdakwah. Ketentuan ini, apabila dakwah itu sendiri tidak diartikan dengan makna yang sempit, seperti yang telah diyakini oleh sebagian kalangan komunitas muslim. Dengan menggembar-gemborkan dakwah harus secara formalitas, seperti berpakaian gamis, kopiyah menempel di atas kepala, dengan jenggot menghelai panjang, tasbih menggayut ditangan kanan dan keliling berjalan kaki door to door.
Diantara metode tersebut seperti ngobrol-ngobrol di kafe, diskusi lintas agama, kunsultasi via alat komunikasi, mengadakan arisan bersama, rihlah ilmiyah dan lain sebagainya adalah termasuk metode berdakwah jika di dalamnya terdapatnya unsur ajakan kepada yang hak dan memperingatkan akan yang bathil. Begitu juga dunia kesenian, kebudayaan, pariwisata, entertainemen dengan segala pernak-perniknya, termasuk sarana untuk berdakwah, menurut pemahaman dakwah dalam makna yang luas sebagaimana dalam arti terminologi di atas.
Sejalan dengan perkembangan akselerasi dari teknologi komunikasi dan informasi sebagai bagian dari perkembangan kehidupan manusia, penggunaan media dakwah juga mengalami perkembangan. Perkembangan teknologi tersebut menuntut semua pihak untuk senantiasa kreatif, inovatif dan bijak dalam memanfaatkan teknologi dimaksud guna kemaslahatan umat manusia.
Media dakwah yang pada awalnya lebih banyak menggunakan media tradisional, berkembang menjadi lebih banyak variasinya dengan menggunakan sentuhan-sentuhan teknologi media massa modern; baik dengan media cetak yang variatif (buku, koran, majalah, tabloit, dan lain-lain) maupun dengan media elektronik yang variatif pula (radio, televisi, film, VCD, internet dan lain sebagainya). Diantara variasi metode atau sarana yang dapat dilakukan pada proses dakwah yakni :
Internet Sebagai Sarana Dakwah
Pada zaman globalisasi perkembangan IPTEK pun melejit mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern. Hadirnya akses internet merupakan media yang tidak bisa dihindari karena sudah menjadi peradaban baru dalam dunia informasi dan komunikasi tingkat global. Dengan adanya akses internet, maka sangat banyak informasi yang dapat dan layak diakses oleh masyarakat internasional, baik untuk kepentingan pribadi, pendidikan, bisnis dan lain-lain. Dimana munculnya jaringan internet dianggap sebagai sebuah revolusi dalam dunia komunikasi dan informasi.
Dakwah melalui jaringan internet dinilai sangat efektif dan potensial dengan berbagai alasan, diantaranya, pertama, mampu menembus batas ruang dan waktu dalam sekejap dengan biaya dan energi yang relatif terjangkau, kedua, pengguna jasa internet setiap tahunnya meningkat drastis, ini berarti berpengaruh pula pada jumlah penyerap misi dakwah. Ketiga, para pakar dan ulama yang berada dibalik media dakwah via internet bisa lebih konsentrasi dalam menyikapi setiap wacana dan peristiwa yang menuntut status hukum syar’i. Keempat, dakwah melalui internet telah menjadi salah satu pilihan masyarakat. Berbagai situs mereka bebas memilih materi dakwah yang mereka sukai, dengan demikian pemaksaaan kehendak bisa dihindari, kelima cara penyampaian yang variatif telah membuat dakwah Islamiyah via internet bisa menjangkau segmen yang luas.
Perlu diingat bahwa keefektifan media ini juga sangat tergantung pad ummat Islam itu sendiri. Artinya kecakapan dan keikhlasan mereka dalam berdakwah via internet, serta kesungguhan mereka dalam meredam segala bentuk perpecahan dan perselisihan intern dalam ummat Islam sangat berpengaruh dalam sukses tidaknya misi suci ini. Untuk itulah diantara kewajiban para pemimpin aliran-aliran dalam Islam agar berusaha semaksimal mungkin untuk dapat merukunkan dan meminimalisisir titik perbedaan dan berusaha mengedepankan titik persamaan.
Televisi Sebagai Media Dakwah Islam
Televisi elektronik yang muncul pertama kalinya untuk umum pada akhir 1930-an di Amerika, merupakan media massa yang pesat perkembangannya dan memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan media lain. Para aktifis dakwah Islam dengan melihat berbagai kelebihan media televisi merasa tergugah untuk mempergunakan media audio-visual ini sebagai sarana atau alat untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Televisi sebagai media dakwah merupakan suatu penerapan dan pemanfaatan teknologi modern dalam aktifitas dakwah. Dengan pemanfaatan televisi ini, diharapkan seluruh pesan-pesan dakwah dapat mencapai sasaran (tujuan) secara lebih optimal, baik kuantitatif maupun kualitatif. Dakwah melalui televisi ini banyak memperoleh keuntungan dibanding dengan mempergunakan media-media dakwah lainnya, diantaranya :
- Dakwah melalui media televisi dapat disampaikan kepada masyarakat melalui suara (audio) dan gambar (visual) yang dapat di dengar dan dilihat oleh pemirsa.
- Dari segi kalayak (Mad’u), televisi dapat menjangkau jutaan pemirsa di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri, sehingga dakwah lebih efektif dan efisien.
- Efek kultural televisi lebih besar dibandingkan media lain, khususnya bagi pembentukan perilaku prososial dan anti sosial anak-anak.
Menurut identifikasi Asmuni Syukir, meskipun kelebihan-kelebihan televisi itu sangat menonjol, bukan berarti televisi paling baik untuk dijadikan sebagai media dakwah. Sebab seperti media-media yang lain, televisi juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya :
- Siaran televisi hanya dapat sekali di dengar dan dilihat (tidak dapat diulang) kecuali dari pusat pemancarnya (studio televisi).
- Terikat oleh pusat pemancarnya dan waktu siaran. Artinya siaran televisi tidak setiap saat dapat dilihat dan didengar menurut kehendak obyek dakwah.
- Terlalu peka akan gangguan sekitar, baik bersifat alami maupun teknis.
- Sukar dijangkau oleh masyarakat, karena televisi relatif mahal harganya dibandingkan radio. Akan tetapi kelemahan ini nampaknya dapat ditunjang adanya kebiasaan masyarakat menonton televisi, walaupun mereka tidak memiliki.
- Kadang-kadang masyarakat dalam menonton hanya sebagai pelepas lelah (hiburan), sehingga di lain hiburan mereka tidak senang.
Selain itu biaya produksi untuk acara-acara di televisi relatif lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan media lainnya, sementara ketertarikan pemasang iklan untuk program-program dakwah juga masih minim; selain itu juga penyampaian dakwah melalui media televisi memerlukan keahlian khusus yang tidak semua da’i atau mubaligh dapat melakukan dakwah melalui media ini.
Kriteria Da’i Yang Ideal
Karakter atau ciri-ciri orang yang memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar , sekalipun Rasulullah saw. sering mendapatkan penolakan dan kebosanan dari sebagian orang, akan tetapi mayoritas dari mereka menerima nasihat Rasulullah saw. dan mereka berubah dari orang yang sering berbuat kemungkaran ke perbuatan yang makruf, dari perbuatan yang salah ke hal yang benar.
Rahasia keberhasilan Rasulullah SAW. dalam berdakwah ialah karena Rasulullah saw. menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang agung dan mulia yang tercermin dalam interaksi beliau saw. bersama dengan orang lain, dan hal ini sangat perlu di perhatikan oleh para da’I kebenaran yaitu menghiasi dirinya dengan sifat-sifat tersebut dalam memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar atau dalam berdakwah, dan diantara sifat-sifat atau karakter tersebut yang di kutip dari sejarah Rasulullah saw. secara global ialah: mempunyai ilmu terhadap apa di perintahkan dan apa yang di larang, pendapat yang jitu, pandai, ramah terhadap orang lain, tidak melecehkan, mengumpat, mempersulit, atau kasar dan selainnya, dan berikut pembahasannya :
- Syarat yang pertama ialah ilmu, kata ilmu di sini bukan hanya sebatas ilmu tentang hal memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar, akan tetapi kata ilmu di sini lebih luas maknanya, karena meliputi ilmu tentang tekhnik-tekhnik berdakwah dan ilmu retorika dalam mendakwahi masyarakat, karena pemahaman setiap orang tidak sama rata, oleh karena itu Allah swt. Meletakkan buat kita kaidah yang sangat pokok dan urgen dalam berdakwah yaitu sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nahl : 125.
- Syarat yang kedua seorang da’i adalah hendaknya ia beramal sesuai dengan yang di ketahuinya sebagai bentuk realisasi terhadap perkataannya, sehingga jujur dalam perkataannya dan pekerjaannya. Allah swt. Telah menghina orang yang mempunyai sifat munafik atau sifat kontradikisi, Allah swt. Berfirman: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”. (QS. Al Baqarah: 44).
- Kriteria selanjutnya yang harus dimiliki seorang da’i harus ikhlas kepada Allah SWT. Terhadap apa yang di katakannya dan yang di lakukannya, karena Allah SWT. Tidak menerima amal perbuatan kecuali yang di kerjakan dengan ikhlas karenanya.
- Selanjutnya seorang da’i harus mempunyai sifat amanat atau tanggung jawab dalam menyampaikan dan melaksanakan apa yang di perintahkan oleh Allah SWT., dengannya. Maka para da’i haruslah yang terlebih dahulu menghindari segala yang bathil, dan mengerjakan segala kebaikan yang telah di perintahkan oleh Allah SWT. Maka para da’ilah yang seharusnya terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan hal tersebut dan merealisasikannya.
- Selanjutnya seorang da’i haruslah mempunyai sifat sabar jika mendapatkan ejekan atau siksaan dari orang-orang yang ia dakwahi, karena tidak akan mungkin perkataan, larangan dan perintah akan di terima oleh semua orang. Oleh karena itu sangat sesuai dengan keadaan jika seorang da’i haruslah bersabar dalam menghadapi setiap siksaan dan ejekan dari orang-orang.
- Seorang da’i harus di penuhi dengan rasa kasih sayang, ramah dan berlemah lembut, karena ia bermaksud dengan perintah dan larangannya sebagai nasihat terhadap mereka, meluruskan akhlak mereka yang tidak lurus, oleh karena itu dia harus bersikap lemah lembut dan ramah terhadap mereka.
- Di antara ciri-ciri orang yang memerintahkan yang makruf ialah penuh hikmah ketika berinteraksi dengan orang lain, mendakwahi orang lain dengan memakai terkadang anjuran, dan terkadang dengan ancaman. Dalam arti Mempermudah dan menggembirakan dan memberikan semangat untuk bertobat kepada orang-orang yang berbuat dosa.
- Selanjutnya bagi para da’I atau yang menyeru kepada yang makruf dan yang melarang dari yang mungkar mengetahui dengan baik mengenai kemaslahatan yang di hasilkan oleh perintah dan larangannya atau keburukan yang di hasilkan dari hal tersebut.
- Kriteria selanjutnya bagi da’i adalah melakukan usahanya tersebut sesuai dengan kesanggupannya, dan tidak membebani orang lain apa yang mereka tidak sanggupi , karena Allah SWT. Telah membebani hamba-hamba-Nya sesuai dengan kesanggupan mereka dan tidak ada pembebanan di atas hal tersebut.
Bukanlah suatu hal yang wajib untuk mendakwahkan atau menyampaikan perintah dan larangan ke setiap person/pribadi atau ke seluruh tempat akan tetapi hal tersebut di lakukan sesuai dengan kesanggupan, sebagaimana juga bukan suatu kewajiban merubah seluruh kemungkaran dengan satu cara saja, akan tetapi setiap orang merubah kemungkaran sesuai dengan kemampuannya , dalam hal ini Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk mengenai hal tersebut dengan sabdanya: “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, hal itu adalah selemah-lemahnya iman”.