Secara historis masih berkembang bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) identik dengan merawat dan mengasuh anak-anak kecil, akibatnya muncul anggapan sebagai kawasan perempuan (Murray, 1996; Steinberg, 1996; Goldstein, 1997; King, 1998, Sumsion, 2000). Bahkan pada penelitian yang semakin berkembang, Sumsion (2000) mengungkapkan adanya anggapan bahwa pengasuhan hanya cocok bagi kaum perempuan dan menjadi tanggung jawab seorang ibu dan pria dianggap tidak mampu melakukannya.
Penelitian yang dilakukan Suyatno pada tahun 2004, memberikan petunjuk tentang stigma sosial yang melekat pada seorang pria yang mengajar di taman kanak-kanak (Yulindrasari, 2017), namun sayangnya tidak ada analisis lebih lanjut pada hasil penelitian tersebut.
Hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa guru laki-laki di PAUD mengalami benturan terhadap berbagai persepsi, stigma, ataupun pandangan yang berkembang di masyarakat.
Berikut sejumlah temuan yang diperoleh melalui penelusuran pustaka dan melekat di dalamnya analisis serta pembahasan hasil penelitian kepustakaan.
1. Persepsi Masyarakat Terhadap Guru Laki-laki di PAUD
Berdasarkan referensi yang ditemukan, ditemukan berbagai persepsi masyarakat terhadap guru laki-laki di PAUD. Berbagai persepsi masyarakat terhadap guru laki-laki di PAUD bisa saja menjadi salah satu faktor rendahnya keberadaan laki-laki di PAUD. Selain itu, rendahnya laki-laki dan dominasi perempuan pada tataran pendidikan anak usia dini, bisa dikarenakan status sosial perempuan dan maskulinitas budaya (Druddy, 2008).
Oleh karena itu, setiap individu pada tataran bermasyarakat bisa saja memiliki persepsi yang berbeda-beda. Persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai guru laki-laki di PAUD adalah tidak cocoknya kaum laki-laki sebagai pengasuh anak. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kajian sebelumnya yang menyebutkan bahwa sebagian pandangan orang tua dan lembaga-lembaga sekolah masih menganggap bahwa perempuan adalah sosok yang tepat untuk mengajar di Taman Kanak-kanak (Daitsman, 2011).
Melihat adanya keengganan laki-laki untuk berada di lingkungan PAUD, dikarenakan salah satunya stigma yang muncul terhadap mereka. Hal ini tentu akan menjadikan hambatan atau rendahnya keinginan laki-laki untuk terlibat di PAUD.
2. Perbandingan Peran Guru Laki-Laki dan Perempuan di PAUD
Guru, baik laki-laki ataupun perempuan memiliki peranan penting dalam pendidikan, ada sembilan peran guru pada pendidikan anak bagi peserta didiknya, yaitu berinteraksi, pengasuhan, mengatur tekanan, memfasilitasi, perencanaan, pengayaan, menangani masalah, pembelajaran, serta bimbingan dan pemeliharaan. (Sujiono, 2009).
3. Gender dan Guru Laki-Laki di PAUD
Secara teoritis, pada usia 3 tahun manusia mulai mengenal jenis kelamin. Pada tahapan perkembangan anak usia dini, salah satu tugas perkembangan manusia adalah mengenali peran gender laki-laki dan perempuan untuk menjadi bagian dari kepribadian mereka (Papalia & Olds, 2009; Santrock, 2012).
Hal tersebut memperlihatkan akan keterlibatan laki-laki di PAUD selaras dengan kebutuhan perkembangan anak terkhusus bagi anak laki-laki. Walaupun pada penelitian Besnard & Letarte (2017) tidak menemukan hubungan antara kemampuan adaptasi anak dengan jenis kelamin guru yang mengajar mereka.
Namun di sisi lain, sebagaimana telah di sebutkan di atas, bahwa penelitian Lin (2004) menyatakan kolaborasi guru dari kedua jenis kelamin membuat perkembangan psikologis anak-anak lebih utuh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran laki-laki dianggap dapat melengkapi
tugas guru perempuan.
Oleh sebab itu ketimpangan gender masih saja dominan dimana kesempatan laki-laki masih sangat sedikit, untuk terlibat di PAUD dan menjadikannya sebagai profesi. Namun ketika ada perempuan yang dapat menembus sektor pekerjaan yang dianggap strategis secara sosio-ekonomi maka dia dianggap telah melakukan stepping up atau melakukan terobosan strata sosial ke atas.
Sebaliknya, jika ada laki-laki yang bekerja dalam bidang yang dianggap wilayah perempuan, maka dia akan dianggap melakukan gerakan ke bawah/mundur
(stepping – down) (Sandberg & Pramling Samuelsson, 2005).
Melihat pada perspektif psikologis, Peeters (2007) mengemukakan bahwa pelibatkan laki-laki dalam PAUD tidak hanya memberi anak-anak model peran laki-laki, tetapi juga menumbuhkan konsep peran gender yang setara, Perspektif tersebut diharapkan dapat membantu mematahkan konstruksi budaya terkait maskulinitas (Drudy, 2008; Erden, 2009;
Greany, 2012). Pada salah satu kajian penelitian, laki-laki diyakini memiliki kepribadian yang mampu merancang dan mempraktekkan permainan, yang hal tersebut tentu sangat di sukai oleh anak-anak dan penting bagi perkembangan psikologis anak-anak secara keseluruhan. (Erden, 2009; Gray & Leith, 2004;
Sejalan dengan Jensen (1996) yang menyatakan bahwa guru laki-laki lebih mampu daripada guru perempuan untuk menanggapi secara efektif anak laki-laki, karena mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang perspektif dan pengalaman anak laki-laki.
Adapun pada penelitian lain kehadiran laki-laki dalam pendidikan anak usia dini akan menguntungkan anak laki-laki karena guru laki-laki lebih banyak melibatkan anak-anak dalam proses belajar melalui kegiatan psikomotorik (Besnard & Letarte, 2017; Sandberg & Pramling-Samuelsson, 2005).
Namun, para peneliti meyakini bahwa peran laki-laki penting di PAUD, keberadaan mereka bukan hanya untuk anak laki-laki melainkan tentang keseimbangan peran dan tanggung jawab gender yang selama ini menjadi wilayah yang dominan dengan perempuan. (Besnard & Letarte, 2017).
Studi mengenai peran gender secara kritis menganalisis pola variasi gender dalam profesi guru dan menyajikan perdebatan mengenai dampak feminisasi terhadap pembelajaran (Esen, 2013; Gray & Leith, 2004; Greany, 2012; Pesikan & Marinkovic, 2006; Songtao, 2000, Mukhlis 2019).