Dalam beberapa tahun belakangan ini kata wacana kerap kali muncul baik dalam pernyataan secara lisan maupun tulisan. Biasanya kata ini muncul saat seseorang memberikan pernyataan lisan atau tertulis sebagai tanggapan atas satu topik tertentu. Topik yang dimaksud tidak hanya berkaitan pada satu bidang tertentu tetapi juga dalam hampir banyak bidang, seperti politik, sosial, budaya, seni, dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa pengertian kata wacana yang dikutip dari buku Analisis Wacana (Eriyanto: 2006,hal 2). Dalam Collins Concise English Dictionary (1988) disebutkan bahwa wacana adalah 1) komunikasi verbal,ucapan, percakapan; 2) sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan; 3) sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat. Sedangkan J.S.Badudu menyatakan wacana adalah 1) rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan,sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; 2) kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan,yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata,disampaikan secara lisan dan tertulis.
APA ITU ANALISIS WACANA KRITIS
Pengertian wacana diungkapkan pula pada tulisan Untung Yuwono dalam buku Pesona Bahasa (2005:92) yaitu kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Pengertian yang lebih sederhana mengenai wacana diungkapkan oleh Lull seperti dikutip dalam buku Analisis Teks Media (Alex Sobur, 2006:11) yang berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas.
Sementara itu Foucault menyatakan bahwa wacana kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan, kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Beberapa pengertian mengenai wacana seperti dipaparkan di atas dimaksudkan agar dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai arti wacana dari sudut pandang bidang bahasa.
Dalam analisis wacana dikenal adanya tiga sudut pandang mengenai bahasa. Pandangan pertama, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Jadi analisis wacana digunakan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (Eriyanto,2006:4). Pandangan kedua, subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubunganhubungan sosialnya. Jadi analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu (Eriyanto,2006:5). Pandangan ketiga, bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membetuk subjek tertentu,tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Jadi analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa. Analisis wacana ini dikenal dengan nama analisis wacana kritis karena menggunakan perspektif kritis (Eriyanto,2006:6).
ANALISIS WACANA KRITIS
Pada bagian kedua telah diperkenalkan sepintas mengenai analisis wacana kritis. Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai analisis wacana kritis berikut fungsi dan beberapa pelopor analisis wacana kritis.
Mengutip apa yang dipaparkan dalam buku analisis wacana (Eriyanto:2006), berikut ini merupakan hal-hal yang mencirikan sebuah analisis wacana kritis;
1. Tindakan. Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Atau wacana juga dipahami sebagai bentuk interaksi. Jadi wacana merupakan sesuatu yang bertujuan, misalnya apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, dan sebagainya. Wacana juga merupakan sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol.
2. Konteks. Mengacu pada pendapat Guy Cook, dalam analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi seperti siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk masing-masing pihak. Sehubungan dengan konteks dalam wacana, Fillmore mengungkapkan betapa pentingnya peran konteks untuk menentukan makna suatu ujaran, bila konteks berubah maka berubah pula maknanya. Sementara itu Syafi’ie (1990 dalam Lubis,1993:58) membedakan konteks dalam pemakaian bahasa menjadi empat macam: (1) konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam komunikasi itu; (2) konteks epistemisatau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar; (3) konteks linguistik yang terdiri dari kalimatkalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar.
3. Historis. Untuk dapat memahami suatu wacana teks maka dapat dilakukan dengan memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Oleh karena itu pada saat menganalisis perlu dimengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan sebagainya.
4. Kekuasaan. Semua wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun dipandang sebagai bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Hubungan antara kekuasaan dan wacana dapat dilihat dari apa yang dinamakan kontrol. Kontrol dalam suatu wacana dapat berupa kontrol atas konteks, dan kontrol terhadap struktur wacana. Kontrol atas konteks misalnya dapat dilihat dari siapa yang boleh atau harus bicara sedangkan posisi yang lain sebagai pendengar atau yang mengiyakan. Sedangkan kontrol terhadap struktur wacana dapat dilihat dari seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar dapat menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan bagian mana yang tidak serta bagaimana ia harus ditampilkan.
5. Ideologi. Wacana digunakan sebagai alat oleh kelompok dominan untuk mempersuasi dan mengkomunikasikan kekuasaan yang mereka miliki agar terlihat absah dan benar dimata khalayak. Suatu teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi tertentu. Menurut teori-teori ideologi dikatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Strategi utamanya adalah dengan membangun kesadaran khalayak bahwa dominasi itu dapat diterima secara taken for granted.
MODEL-MODEL ANALISIS WACANA KRITIS
Dalam analisis wacana kritis dikenal adanya beberapa pendekatan diantaranya adalah: 1) Analisis Bahasa Kritis, 2) Analisis Wacana Pendekatan Prancis, 3) Pendekatan Kognisi Sosial, 4) Pendekatan Perubahan Sosial, 5) Pendekatan Wacana Sejarah.
Analisis Bahasa Kritis dikembangkan oleh sekelompok pengajar di Universitas East Anglia pada tahun 1970an. Pendekatan ini memusatkan analisis wacana pada bahasa dan hubungannya dengan ideologi. Jadi ideologi diamati berdasarkan pilihan bahasa maupun struktur gramatika yang dipakai. Bahasa digunakan seseorang untuk membawa ideologi tertentu melalui kata atau struktur gramatika yang dipilihnya.
Model analisis yang dikembangkan oleh Fowler, dkk dikenal dengan nama pendekatan Critical Linguistics. Pokok pemikiran model analisis ini dikembangkan berdasarkan penjelasan Halliday mengenai struktur dan fungsi bahasa. Berangkat dari pemikiran itulah Fowler, dkk mempelajari tata bahasa dan praktik pemakaiannya untuk mengetahui praktik ideologi. Elemen bahasa yang dipelajari Fowler, dkk adalah: 1) Kosakata, dan 2) Tata Bahasa.
Analisis Wacana Pendekatan Prancis disebut juga Pendekatan Pecheux. Pendekatan ini dipengaruhi oleh teori ideologi Althusser dan teori wacana Foucault. Pecheux memandang bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa, dan materialisasi bahasa pada ideologi. Pecheux memberikan perhatian pada efek ideologi dari diskursus yang memposisikan seseorang sebagain subjek dalam situasi sosial tertentu. Oleh sebab itu bahasa dipandang sebagai medan pertarungan melaluinya berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya.
Pendekatan Kognisi Sosial merupakan pendekatan yang dikembangkan di Universitas Amsterdam, Belanda dengan tokoh utamanya adalah Teun A. van Dijk. Van Dijk dan teman-teman mengangkat persoalan etnis, rasialisme, dan pengungsi dalam menganalisis berita-berita di surat kabar Eropa pada tahun 1980an. Hasilnya van Dijk menemukan bahwa faktor kognisi menjadi unsur penting dalam produksi wacana. Produksi wacana akan mengikutsertakan pula suatu proses kognisi sosial.
Model analisis van Dijk disebut juga sebagai kognisi sosial. Menurut van Dijk dalam menganalisis wacana tidak hanya menganalisis teks semata namun perlu diamati pula bagaimana teks tersebut diproduksi, kenapa teks semacam itu diproduksi. Van Dijk banyak melakukan penelitian terutama terkait dengan pemberitaan yang memuat rasialisme dan diungkapkan melalui teks. Percakapan sehari-hari, wawancara kerja, rapat pengurus, debat di parlemen, propaganda politik, periklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, photo, film merupakan hal-hal yang diamati van Dijk.
Pendekatan Perubahan Sosial digunakan untuk menganalisis wacana yang memperhatikan hubungan antara wacana dan perubahan sosial. Tokoh pendekatan ini adalah Fairclough yang dipengaruhi oleh pemikiran Foucault dan intertekstualitas Julia Kristeva dan Bakthin. Dalam pendekatan ini wacana dipandang sebagai praktik sosial, yaitu ada hubungan antara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Oleh sebab itu model analisis Norman Fairclough disebut juga sebagai model perubahan sosial. Fairclough menggunakan wacana untuk menunjukkan bahasa sebagai praktik sosial. Dengan demikian wacana merupakan suatu bentuk tindakan dimana seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia, khususnya sebagai bentuk representasi ketika menghadapi realitas.
Pendekatan Wacana Sejarah dikembangkan oleh sekelompok pengajar di Vienna yang dipimpin oleh Ruth Wadok. Pendekatan ini dipengaruhi oleh pemikiran Jurgen Habermas. Menurut Wadok dan kawan-kawan, dalam menganalisis wacana harus disertakan pula konteks sejarah bagaimana wacana mengenai suatu kelompok digambarkan