Belajar Hakikat Historiografi Dalam Penulisan Sejarah

Dalam penulisan sejarah atau historiografi terdapat perkembangan penulisan sejarah yang dipengaruhi zaman, lingkungan, kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan yang meliputi teori serta metodologi, dan yang paling penting adalah bagaimana seorang penulis menyajikan sejarah.

Oleh karena sebab diatas, setiap penulisan sejarah pasti akan berbeda, karena ditulis berdasarkan sudut pandang seorang sejarawan yang menulis sejarah tersebut. Pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai hakikat historiografi. Adapun pokok-pokok pembahasannya yaitu sebagai berikut:

Secara semantik kata historiografi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu history yang artinya sejarah dan grafi yang artinya deskripsi atau penulisan. Kemudian secara istilah historiografi atau penulisan sejarah adalah usaha rekontruksi terhadap peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Dimulai dari pengertian ini kita akan belajar apa itu historiografi.

Hakikat Historiografi Dalam Penulisan Sejarah

Pengertian Historiografi

Pengertian historiografi adalah rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperolah dengan menempuh proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.

Secara harafiah, historiografi juga dapat diartikan sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau. Berdasarkan pemahaman ini maka dapat disimpulkan bahwa historiografi merupakan rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh berbagai macam proses.

Supaya lebih jelas memahami pengertian historiografi, berikut ini disajikan pengertiannya menurut para ahli.

Pengertian Menurut Para Ahli

  1. Menurut Prof Dr Ismaun

Historiografi adalah sebuah pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentangperistiwa yang terjadi pada masa lalu yang disebut sejarah.

  1. Menurut Prof Dr Helius Sjamsudin

Historiografi adalah suatu proses sintesis yang dihasilkan oleh sejarawan dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh.

  1. Menurut Drs Sugiyanto

Historiografi merupakan puncak kegiatan penelitian sejarah setelah memilih subjek yang diminati dalam penelitian sejarah, kemudian mencari sumber-sumber dan menjelaskan informasi yang terkandung di dalamnya.

  1. Menurut Drs Haryono

Historiografi merupakan suatu kisah masa lampau yang ditulis ulang oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada dari sumber-sumber yang telah ditemukan.

  1. Menurut Prof A Daliman

Historiografi dalam penulisan sejarah merupakan sebuah sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkapkan, diuji (verifikasi) dan diinterpretasi.

  1. Abdurahaman Hamid dan Muhammad Saleh Majid

Historiogarafi adalah peryataan mengenai masa silam yang telah disintesiskan (melalui penelitian akademis) yang selanjutnya ditulis dalam kisah sejarah.

  1. Menurut Soedjatmoko dan Poesporodjo

Historiografi atau penulisan sejarah dalam sudut pandang keilmuan merupakan titik puncak dari kegiatan penelitian oleh sejarawan. Dalam metodologi sejarah ,historiografi merupakan bagian terakhirnya. Langkah terakhir, tetapi langkah tersebut adalah langkah terberat.

  1. Menurut Mulyana A

Historiografi adalah cara dalam penulisan sejarah yaitu langkah utama serta terakhir dalam metode sejarah atau penulisan sejarah dan tinjauan atas hasil karya tulis sejarah.

Tujuan Historiografi

Dibawah ini adalah beberapa tujuan dari historiografi yaitu:

  1. Memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka
  2. Menunjukkan jati diri sebagai bangsa
  3. Memberikan pendidikan nasionalisme kepada generasi melalui penulisan sejarah
  4. Sebagai apologi atau kepentingan pendidikan
  5. Sekedar kenangan pribadi untuk keluarga.
  6. Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.
  7. Kisah kepahlawanan.

Fungsi Historiografi

Fungsi dari historiografi ialah dimaksudkan untuk mendokumentasikan, selain itu juga untuk memapankan data dan fakta mengenai peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian pada masa lampau. Dokumentasi data dan fakta sejarah serta penulisannya ternyata memuat berbagai makna.

Oleh sebab itu sesuai dengan subtansi dan strukturnya akan melahirkan fungsi-fungsi penulisan sejarah yang berbeda-beda dalam masyarakat atau suatu bangsa.

Adapun fungsi-fungsi historiografi diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Fungsi Genetis

Fungsi genetis adalah mengungkapkan asal usul dari sebuah peristiwa. Pengungkapan pengetahuan sejarah dalam bentuk historiografi tidak semata-mata berfungsi untuk memapankan data-data dan fakta-fakta tentang kejadian-kejadian di masa lampau, akan tetapi penulisan itu memuat berbagai makna, baik struktur maupun substansi historiografi menunjuk pada fungsinya dalam masyarakat.

Pada hakikatnya setiap sejarah mengungkapkan bagaimana sesuatu terjadi serta asal mulanya. Dalam menghadapai gejala baru, seseorang senantiasa berusaha mengenalnya dan melacak latar belakang sejarahnya. Dengan mengungkapkan bagaimana sesuatu telah terjadi, maka mulai diketahui identitasnya. Menentukan identitas dirinya dengan melacak geneologinya adalah hal yang lazim dilakukan.

  1. Fungsi Didaktis

Fungsi diktatis adalah mendidik atau memuat pelajaran, hikmah dari suri tauladan. Sejarah sebagai cerita pengalaman individual dan kolektif akan banyak memuat pelajaran, hikmah, suri tauladan bagi pembaca pada umumnya dan generasi berikut pada khususnya. Dipandang dari wawasan sosialisasi atau enkulturasi, ternyata historiografi dengan fungsi didaktisnya adalah sangat instrumental untuk meneruskan tradisi, kebijakan, pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi ke generasi untuk memperkuat kontinuitas serta tradisi dalam arti luas.

Oleh karena itu, dengan menghayati masa lalu, manusia akan lebih menyadari dirinya sebagai makhluk Tuhan dan Taqwa kepada Tuhan. Apabila tidak memperhatikan masa lalu pasti tidak akan ada hikmah yang didapatinya, namun segalanya akan gelap, kemungkaran, kerusakan mental merajalela dan kebahagiaan tidak akan tercipta dalam kehidupan sosial.

  1. Fungsi Pragmatis

Fungsi pragmatis diartikan untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan berwibawa. Dalam fungsi ini lebih menekankan kepada aspek praktis yang sangat menonjolkan legitimasi suatu kekuasaan pada khususnya dan situasi politik pada umumnya.

Sehingga bisa dipahami bahwa fungsi pragmatis mungkin lebih banyak terdapat dalam tulisan sejarah konvensional.

Prinsip-Prinsip Historiografi

  1. Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.
  2. Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat)
  3. Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.
  4. Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.
  5. Memerlukan bagian-bagian tertentu dalam penulisannya.
  6. Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.
  7. Bersifat deskriptif analitis.

Objektifitas dalam Penulisan Sejarah

Beberapa hal untuk mendapatkan objektivitas dalam arti ilmu sosial di atas terus diusahakan untuk mendapatkan kriteria tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa walaupun Ilmu Sejarah di masukkan juga pada rumpun Ilmu Sosial, terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam hal yang sama memang ilmu soial menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, akan tetapi yang membedakannya adalah ruang lingkup dari aspek hidup manusia.

Objektivitas dalam historiografi tidak mungkin hadir seperi peristiwa yang sebenarnya, peristiwa sejarah objektif hanya sekali terjadi dan tidak mungkin terulang lagi, dan yang tersisa adalah bagian dari peristiwa tersebut.

Peninggalan sejarah yang objektif inilah yang tersebar melalui subjek (manusia) yang menyebabkan pula peristiwa tersebut menjadi subjektif (tidak selengkap peristiwa yang sebenarnya). Sebagai pelengkap pembahasan ini perlu kita renungkan bahwa bukan karena adanya subjektivitas sejarah sehingga tidak bisa di katakan memiliki kebenaran, justru karena adanya subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan objektivitas pada historiografi sejarah.

Dalam hal ini apa yang di katakan Garraghan sangat perlu untuk kita pahami. Garraghan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:

  1. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.
  2. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya.
  3. Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
  4. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi.
  5. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.

Subyektivitas dalam Historiografi

Poespoprodjo mengungkapkan subjektivitas dalam sebuah historiografi adalah diperbolehkan karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Lebih lanjut, Poespoprodjo menyatakan yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme.

Beliau mengingatkan perlunya memisahkan arti dari subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan subjektivisme. Menurutnya, dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang sebagai kreasi, dan konstruksi akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari ketersembunyiannya. Agar lebih mudah dimengerti, subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan membuat seorang peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang kuat. Salah satu contoh subjektivitas historiografi yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber atau pengarang atau pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan perbandingan dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan subjektivitas.

Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah memakai interpretasi dan seleksi. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksi dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah.

Poespoprodjo mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas peneliti sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yaitu sebagai berikut.

  1. Peranan Human Richness

Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi.

Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu fakta, permasalahan masa kini (a matter of indicative), tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya.

Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas historiografi pun akan sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh individu peneliti sejarah atau sejarawan.

  1. Titik Berdiri

Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap objek sesuai dengan apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada yang salah dan yang benar.

Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.

Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi bukan kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas.

  1. Mengenal Sumber Distorsi

Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.

Model Penulisan Historiografi

Menurut sifatnya, terdapat dua model penulisan historiografi, yaitu :

  1. Historigrafi diskriptif-naratif, yaitu penulisan sejarah hanya berisi barasi kronologisfakta peristiwa yang telah diinterpretasikan tanpa ada suatu analisis yang lebih mendalam terhadap peristiwa tersebut. Jadi model ini bersifat informatif. Menurut R.Moh.Ali, dalam model penulisan diskriptif-naratif ini, rangkaian kejadian dan peristiwa dibuat berjajar dan berderet-deret (kronologis) tanpa menjelaskan latar belakangnya, kesalingterkaitan peristiwa, serta hubungan sebab akibat di antaranya.
  2. Historiografi deskriptif-eksplanatif atau deskritif-argumentatif, yaitu narasi peristiwa diberi bobot tambahan, yaitu analisis peristiwa. Analisis itu terutama berfokus pada hubungan sebab akibat (kausalias) serta dampak peristiwa bagi generasi pada peristiwa itu terjadi serta bagi generasi setelahnya.

Kelemahan Historiografi

Dalam penyususunan historiografi, sejarawan sering kali mendapatkan beberapa hambatan. Hambatan-hambatan tersebut terbagi dalam beberapa aspek, yakni:

  1. Adanya keterpihakan sejarawan kepada pendapat atau mazhab tertentu.
  2. Terlalu percaya pada periwayat berita sejarah.
  3. Kegagalan dalam menangkap poin pokok atas apa yang dilihat, atau didengar. Serta menyampaikan laporan atas dasar perkiraan yang keliru tersebut.
  4. Asumsi yang tidak beralasan terhadap sumber berita.
  5. Ketidaktahuan dalam mengaitkan antara keadaan dengan realitas sebenarnya yang terjadi.
  6. Kecenderungan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.
  7. Ketidaktahuan tentang hakikat dan kondisi yang muncul dalam berbagai kondisi peradaban.

Penutup

Sekarang ini, ada tuntutan baru agar historiografi lebih dari sekedar narasi peristiwa, kendati narasi peristiwa tetap dianggap sebagai tuntutan minimal asalkan lengkap dan komprehensif.

Supaya menambah ketajaman dan bobot analisis sejarah, pada zaman ini pendekatan interdisipliner yang melibatkan ilmu-ilmu sosial sangat diperlukan. Pendekatan ini terutama untuk penelitan serta model penulisan sejarah diskriptif-eksplanasi.

Pada tahap historiografi, fakta-fakta yang telah dikumpulkan dikritik dan diinterpretasi kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang logis, sistematis, dan bermakna. Menulis cerita sejarah bukan sekedar menyusun dan merangkai fakta-fakta hasil penelitian tetapi juga menyampaikan ide, gagasan, serta emosi kita melalui interpretasi sejarah. Oleh karena itu dibutuhkan kecakapan dan kemahiran dalam menulis sejarah.