Dari hasil penelitian yang telah dilakukan Claife (dalam Syah, 1995) mengemukakan gaya penampilan dan mengajar guru dalam mengelola proses belajar-mengajar yaitu:
1. Gaya mengajar guru otoriter
Guru dengan gaya mengajar otoriter dalam proses belajar-mengajar selalu mengarahkan segala aktivitas para siswa. Siswa hanya mendapat sedikit kesempatan berperan serta memutuskan cara terbaik untuk kepentingan belajar mereka. Guru semacam ini sering menimbulkan kemarahan dan kekesalan siswa terutama siswa pria karena merasa kreativitasnya terhambat. Guru tipe ini menunjukkan ciri berwatak otoriter, keras dan kaku dalam mengarahkan aktivitas proses belajar-mengajar dan menghambat kebebasan akademik siswa. Slavin (1991) mengemukakan bahwa guru yang menerapkan disiplin otoriter dalam mendidik anak cenderung tidak memberikan ruang gerak yang kondusif bagi perkembangan kepribadian anak, bahkan disiplin otoriter membuat anak gugup, bersikap bermusuhan dan antagonistik.
2. Gaya Mengajar Guru Laissez-faire
Guru yang berwatak seperti ini biasanva gemar mengubah arah dan cara pengelolaan proses belajar-mengajar seenaknya, sehingga menyulitkan siswa dalam mempersiapkan diri. Sesungguhnya guru tersebut tidak menyenangi profesinya sebagai pendidik, meskipun memiliki kemampuan yang memadai. Kelemahan lain adalah, kebiasaan rutinnya menimbulkan pertengkaran kecil. Slavin (1991) menegaskan guru yang menegakkan disiplin gaya laissez-faire dalam mendidik anak, akan membuat anak kurang bertanggung jawab, kurang menghargai aturan dan egosentris, padahal cerminan sikap semacam ini kurang dapat mendukung penciptaan sikap kompetitif.
3. Gaya Mengajar Demokratis
Guru yang memiliki sifat ini pada umumnya dipandang sebagai guru yang baik dan ideal. Alasannya dibanding guru lainnya, guru demokratis lebih senang bekerjasama dengan teman seprofesinya, namun tetap menyelesaikan tugasnya secara mandlri. Ditinjau dari sudut pandang pengajaran, guru demokratis ternyata lebih baik dan karenanya ia lebih disenangi baik oleh teman seprofesi maupun siswanya sendiri. Mereka lebih sering memberikan peluang akademik kepada siswa, sehingga siswa mendapat banyak kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Di dalam mengajar, guru tipe ini tidak menganggap materi yang disajikan sebagai barang jadi yang siap untuk dimakan dan tidak boleh diotak-atik lagi, akan tetapi setiap saat memperkaya atau bahkan mengurangi materinya sesuai kebutuhan belajar siswa. Guru dan siswa dalam kondisi semacam ini sama-sama merasakankebermaknaan dan kepuasan pada waktu dan sesudah proses pembelajaran.
Dari berbagai kajian terhadap ragam gaya mengajar guru ini, maka gaya mengajar guru demokratislah yang dianggap paling ideal. Hal ini karena segala aktivitas belajar-mengajar mereka selalu mempertimbangkan pikiran-pikiran dan perasaan anak. Mereka dalam mengajar lidak hanya menjalankan tugas-tugas yang bersifat akademik saja, akan tetapi juga menyentuh hal-hal yang bersifat non-akademik yaitu aspek emosi dan sosial anak. Wimbarri (1997) mengemukakan bahwa guru tipe ini selalu berusaha untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan psikologi siswa dalam aspek fisik.